Asisten apoteker sedang melayani seorang pengunjung ketika
saya masuk. Saya masih mengenalinya, Rina Selasih, tetapi saya berpura-pura
tidak melihatnya dan berlagak sibuk mengamati obat-obatan yang dipajang di
konter.
Ia teman saya di kelas satu SMP, tenang dan cantik, seperti
Jessy Gusman, tetapi lebih cantik. Ia paling cantik di kelas kami. Dan ia
sekarang berkerudung.
Pada hari-hari pertama masuk sekolah, sebelum saya mengenal
nama semua teman sekelas, Kris, teman sebangku saya, memberi tahu bahwa ia dan
Rina bersekolah di SD yang sama, tidak sekelas, tetapi mereka saling kenal dan
ia tahu rumah Rina. Saya tidak begitu yakin Rina kenal dengannya. Sejak hari
pertama masuk, saya tidak pernah melihat mereka saling bicara.
Tetapi Kris betul-betul tahu rumah Rina. Saya ke rumahnya
suatu sore bersama seorang teman, lalu kami jalan bertiga menyusuri rel, dan
kemudian masuk ke kampung menuju rumah Rina. “Itu yang ada warungnya,” kata
Kris. Langkah kami melambat ketika rumah Rina semakin dekat, tetapi akhirnya
kami tiba juga.
Di pekarangan rumah, ibunya sedang menyapu daun-daun. Kris
menanyakan apakah Rina ada.
“Sedang tidur,” kata ibunya. “Biar saya bangunkan.”
“Tidak usah, Bu,” kata Kris.
“Tidak apa-apa. Lagipula sudah lama tidurnya.”
Si ibu masuk. Kami menunggu di pintu pagar, dan saya
memikirkan apa yang akan saya katakan nanti. Namun, sebelum Rina keluar,
sebelum saya menemukan kata-kata yang bagus, tiba-tiba mereka berdua berlari
sekencang-kencangnya, meninggalkan saya sendirian di depan pintu pagar. Saya
kebingungan sesaat, lalu merasa ngeri, lalu ikut berlari kencang mengejar
mereka.
Besoknya Rina mendatangi saya pada jam istirahat.
“Kamu kemarin ke rumahku?”
“Ya.” Suara saya pelan sekali.
“Kenapa tidak masuk?”
“Mereka lari duluan.”
Saya tidak menemukan jawaban selain itu.
Pikiran saya sibuk sekali sesudahnya. Bagaimana dia bisa
tahu bahwa saya ke rumahnya? Dia belum keluar ketika kami berlari kesetanan
meninggalkan pagar rumahnya. Lalu, kenapa dia menanyakan itu? Apakah dia lebih
suka saya masuk rumahnya?
Saya tidak pernah lagi mendekati rumahnya setelah sore itu,
meskipun saya selalu ingin ke rumahnya. Teras rumahnya teduh, ada pohon mangga
di pekarangan, besar dan rimbun, dan saya pikir menyenangkan bercakap-cakap di
teras itu.
Justru Rina yang menemui saya menjelang ujian kenaikan
kelas, diantar oleh ibu dan kakak perempuannya, dan ia tidak bicara apa-apa,
dan ia seperti hampir pingsan memandangi saya. Saya di rumah sakit karena
ditabrak sepeda motor ketika menyeberang jalan. Wajah saya luka dan lebam.
Dalam dua tahun berikutnya kami tidak pernah sekelas lagi.
Satu kali kami bertemu di halte ketika ia tidak dijemput ayahnya, dan
percakapan kami pendek-pendek, diselingi diam yang panjang. Saya menyesal tidak
mampu membuat percakapan berjalan lancar. Pada hari-hari setelah itu, saya
melatih percakapan di dalam benak, siapa tahu kami bertemu lagi di halte,
tetapi tidak pernah ada pertemuan kedua di tempat saya menunggu angkutan.
Kami berpisah sekolah setelah lulus dan saya tidak mendengar
kabar ia di SMA mana. Agak lama saya baru tahu, dari seorang teman, bahwa ia
melanjutkan ke Sekolah Asisten Apoteker. Dan sekarang ia ada di hadapan saya,
sudah menjadi asisten apoteker, dan ia sudah selesai melayani pengunjung yang
datang sebelum saya. Lalu ia memandangi saya dan melontarkan tebakan yang
akurat, meskipun suaranya terdengar sedikit ragu:
“Sulak, kan?”
Sebetulnya saya ingin menyapanya begitu masuk apotek, tetapi
saya khawatir mengagetkannya. Penampilan saya seperti gembel pada waktu itu:
tubuh sangat kurus dan rambut panjang menjalari punggung dan tiga cerpen sudah
dimuat di koran.
Percakapan kami tak lama. Dua orang masuk bersamaan dan ia
harus melayani mereka. Hari berikutnya saya kembali ke Jokja dan beberapa bulan
setelah itu kami bertemu lagi—dalam mimpi. Kami berdiri berhadapan di jalanan
kampung, tidak jelas di mana tetapi di Jokja, dan ia mengatakan, “Kok kamu
sombong sekarang, Lak, nggak pernah ke rumahku?”
Saya memang tidak pernah ke rumahnya, tidak pernah
benar-benar ke rumahnya. Jadi, baiklah, kali ini saya akan ke rumahnya. Saya
pulang ke Semarang keesokan harinya untuk memenuhi undangan yang ia sampaikan
melalui mimpi. Tetapi kami tidak bertemu. Rina Selasih meninggal sehari
sebelumnya.[]