Jurnal A.S. Laksana


Di Rumah Rina

KAMI bertemu lagi secara kebetulan, sepuluh tahun setelah sore yang mendebarkan ketika saya pertama kali ke rumahnya, dan saya masih tetap kikuk. Hari itu saya pulang ke Semarang dan pergi ke dokter dekat rumah untuk memeriksakan telinga kiri dan dokter bekerja cepat sekali. Ia memeriksa telinga saya seperti peternak tua memeriksa kandang pada senja hari untuk memastikan ayam-ayamnya lengkap. Dari tempat praktek dokter, saya langsung ke apotek untuk menebus obat.

Asisten apoteker sedang melayani seorang pengunjung ketika saya masuk. Saya masih mengenalinya, Rina Selasih, tetapi saya berpura-pura tidak melihatnya dan berlagak sibuk mengamati obat-obatan yang dipajang di konter.

Ia teman saya di kelas satu SMP, tenang dan cantik, seperti Jessy Gusman, tetapi lebih cantik. Ia paling cantik di kelas kami. Dan ia sekarang berkerudung.

Pada hari-hari pertama masuk sekolah, sebelum saya mengenal nama semua teman sekelas, Kris, teman sebangku saya, memberi tahu bahwa ia dan Rina bersekolah di SD yang sama, tidak sekelas, tetapi mereka saling kenal dan ia tahu rumah Rina. Saya tidak begitu yakin Rina kenal dengannya. Sejak hari pertama masuk, saya tidak pernah melihat mereka saling bicara.

Tetapi Kris betul-betul tahu rumah Rina. Saya ke rumahnya suatu sore bersama seorang teman, lalu kami jalan bertiga menyusuri rel, dan kemudian masuk ke kampung menuju rumah Rina. “Itu yang ada warungnya,” kata Kris. Langkah kami melambat ketika rumah Rina semakin dekat, tetapi akhirnya kami tiba juga.

Di pekarangan rumah, ibunya sedang menyapu daun-daun. Kris menanyakan apakah Rina ada.

“Sedang tidur,” kata ibunya. “Biar saya bangunkan.”

“Tidak usah, Bu,” kata Kris.

“Tidak apa-apa. Lagipula sudah lama tidurnya.”

Si ibu masuk. Kami menunggu di pintu pagar, dan saya memikirkan apa yang akan saya katakan nanti. Namun, sebelum Rina keluar, sebelum saya menemukan kata-kata yang bagus, tiba-tiba mereka berdua berlari sekencang-kencangnya, meninggalkan saya sendirian di depan pintu pagar. Saya kebingungan sesaat, lalu merasa ngeri, lalu ikut berlari kencang mengejar mereka.

Besoknya Rina mendatangi saya pada jam istirahat.

“Kamu kemarin ke rumahku?”

“Ya.” Suara saya pelan sekali.

“Kenapa tidak masuk?”

“Mereka lari duluan.”

Saya tidak menemukan jawaban selain itu.

Pikiran saya sibuk sekali sesudahnya. Bagaimana dia bisa tahu bahwa saya ke rumahnya? Dia belum keluar ketika kami berlari kesetanan meninggalkan pagar rumahnya. Lalu, kenapa dia menanyakan itu? Apakah dia lebih suka saya masuk rumahnya?

Saya tidak pernah lagi mendekati rumahnya setelah sore itu, meskipun saya selalu ingin ke rumahnya. Teras rumahnya teduh, ada pohon mangga di pekarangan, besar dan rimbun, dan saya pikir menyenangkan bercakap-cakap di teras itu.

Justru Rina yang menemui saya menjelang ujian kenaikan kelas, diantar oleh ibu dan kakak perempuannya, dan ia tidak bicara apa-apa, dan ia seperti hampir pingsan memandangi saya. Saya di rumah sakit karena ditabrak sepeda motor ketika menyeberang jalan. Wajah saya luka dan lebam.

Dalam dua tahun berikutnya kami tidak pernah sekelas lagi. Satu kali kami bertemu di halte ketika ia tidak dijemput ayahnya, dan percakapan kami pendek-pendek, diselingi diam yang panjang. Saya menyesal tidak mampu membuat percakapan berjalan lancar. Pada hari-hari setelah itu, saya melatih percakapan di dalam benak, siapa tahu kami bertemu lagi di halte, tetapi tidak pernah ada pertemuan kedua di tempat saya menunggu angkutan.

Kami berpisah sekolah setelah lulus dan saya tidak mendengar kabar ia di SMA mana. Agak lama saya baru tahu, dari seorang teman, bahwa ia melanjutkan ke Sekolah Asisten Apoteker. Dan sekarang ia ada di hadapan saya, sudah menjadi asisten apoteker, dan ia sudah selesai melayani pengunjung yang datang sebelum saya. Lalu ia memandangi saya dan melontarkan tebakan yang akurat, meskipun suaranya terdengar sedikit ragu:

“Sulak, kan?”

Sebetulnya saya ingin menyapanya begitu masuk apotek, tetapi saya khawatir mengagetkannya. Penampilan saya seperti gembel pada waktu itu: tubuh sangat kurus dan rambut panjang menjalari punggung dan tiga cerpen sudah dimuat di koran.

Percakapan kami tak lama. Dua orang masuk bersamaan dan ia harus melayani mereka. Hari berikutnya saya kembali ke Jokja dan beberapa bulan setelah itu kami bertemu lagi—dalam mimpi. Kami berdiri berhadapan di jalanan kampung, tidak jelas di mana tetapi di Jokja, dan ia mengatakan, “Kok kamu sombong sekarang, Lak, nggak pernah ke rumahku?”

Saya memang tidak pernah ke rumahnya, tidak pernah benar-benar ke rumahnya. Jadi, baiklah, kali ini saya akan ke rumahnya. Saya pulang ke Semarang keesokan harinya untuk memenuhi undangan yang ia sampaikan melalui mimpi. Tetapi kami tidak bertemu. Rina Selasih meninggal sehari sebelumnya.[]