Di satu sudut ruang tamu, suara Sam Saimun melantun dalam volume kecil dari gramofon tua: “ Serasa tiada jauh dan mudah dicapai tangan.… ” D...

Dan Waktu tidak Menyembuhkan

Di satu sudut ruang tamu, suara Sam Saimun melantun dalam volume kecil dari gramofon tua: “Serasa tiada jauh dan mudah dicapai tangan.…” Di sudut lainnya, ada rak kayu yang menampung tumpukan album foto-foto lama, keranjang kecil berisi surat-surat yang tak pernah dikirimkan, topi perempuan, dan semua jenis kenangan, dan lelaki tua itu, yang rambut putihnya mulai menipis, duduk di sofa membuka halaman-halaman album dan berhenti cukup lama pada satu foto hitam putih. Mereka berdiri di atas bukit kecil; tangan kanan lelaki di foto itu, dirinya ketika muda, memegangi tangan kiri perempuan di sampingnya, dan mereka tersenyum. Ia masih bisa mengingat apa yang mereka lakukan setelah itu. Ia masih bisa mengingat semuanya: matahari terbenam di tepi pantai, perjalanan ke waduk Sempor, dan malam-malam berdua membicarakan apa saja di teras kamar kos perempuan itu. Semua percakapan terasa menyenangkan, sebab semua topik adalah topik penting ketika ia membahasnya dengan perempuan itu.

Dari arah dapur tercium aroma kopi.

“Buatkan aku juga, Nar,” katanya.

Seorang perempuan sebaya dengannya, dengan wajah ramah dan kain kebaya dan rambut yang juga sudah banyak memutih, muncul dari dapur beberapa waktu setelah itu membawa secangkir wedang jahe dan tatakan. Ia meletakkan tatakan di meja ruang tamu dan menaruh cangkir di atas tatakan.

“Aku minta kopi.”

“Saya membuat wedang jahe, Pak. Lalu Bapak minta dibuatkan juga.”

“Kupikir kamu menyeduh kopi.”

“Kopinya habis. Saya ke warung dulu kalau begitu.”

Ia merasa mencium wangi kopi. Beberapa waktu belakangan ia sering merasa mencium wangi kopi. Itu aroma yang tercium olehnya pada sore hari ketika hujan turun deras dan ia berada di ruang perpustakaan. Hanya ada dua pengunjung lain, perempuan dan lelaki, di meja pojok ruangan, dan samar-samar ia bisa mendengar suara lirih percakapan mereka. Ia sedang berada di lorong di antara deretan rak kayu coklat tua ketika wangi kopi tiba-tiba menyeruak, lebih kuat dibandingkan aroma kertas dan buku-buku.

Secangkir kopi pada hari hujan di perpustakaan yang sepi pengunjung. Perempuan itu duduk di belakang mejanya, menyesap kopi, ditemani tumpukan buku-buku di meja dan foto presiden dan wakil presiden dan peta Indonesia di dinding dan sebuah bola dunia pada rak di belakang punggungnya. Lalu sebuah adegan seperti dalam film percintaan: Dari lorong rak-rak buku ia memandangi perempuan yang sedang menyesap kopi dan perempuan itu menaruh cangkir kopinya dan mengangkat wajahnya dan pandangan mata mereka saling bertumbuk tak terhindarkan.

“Mau saya bikinkan sekalian?”

Ia mengangguk. “Terima kasih.”

Perempuan itu masuk ke ruangan dalam dan keluar lagi beberapa saat kemudian dengan secangkir kopi di tangannya dan meletakkan cangkir itu di meja tempatnya berjaga. Ia ingat rambut perempuan itu berwarna kecokelatan dan diikat rapi ke belakang dan matanya bening seperti mata kanak-kanak.

“Saya Frans,” katanya.

“Marini,” kata perempuan itu.

Ia sudah tahu. Ia sudah membaca nama di baju seragam perempuan itu begitu ia duduk di kursi depan mejanya, tetapi ia senang mendengar perempuan itu  menyebutkan namanya sendiri. Lalu mereka bercakap-cakap dan ia merasa waktu berlari cepat. Marini melayani dua peminjam buku, perempuan dan lelaki yang bercakap-cakap di meja pojok ruangan, sebelum berkemas. Perpustakaan sudah waktunya tutup dan percakapan mereka berakhir, tetapi Frans tahu bahwa ia akan sering kembali ke perpustakaan, dan ia melakukannya. Kadang ia bertemu dengan Marini, kadang tidak.

Selanjutnya mereka bertemu tidak hanya di perpustakaan, tetapi juga di halte tempat perempuan itu biasa menunggu bus kota, dan dari halte mereka akan berpindah ke kedai kopi, atau ke warung soto dan sate kerang di seberang museum, atau ke gedung bioskop, dan akhirnya mereka lebih banyak bertemu dan bercakap-cakap di tempat kos perempuan itu di daerah belakang pasar induk. Selanjutnya ia khilaf. Seperti mobil kehilangan rem pada tikungan curam, ia kehilangan kendali pada suatu kesempatan dan semuanya berakhir begitu saja. Marini merasa dikhianati dan mereka tak pernah menikmati waktu berdua lagi sesudah ia khilaf.

Mereka baru bertemu lagi pada suatu sore sehari setelah resepsi. Lobi wisma haji tidak memiliki penerangan yang cukup dan perempuan itu duduk di pojok ruangan, memilih meja yang terhalang oleh tiang dari pandangan orang di pintu masuk. Frans berjalan dengan kaki-kaki yang berat mendatanginya dan duduk di kursi seberang meja berhadap-hadapan dengan Marini dan agak kikuk untuk mengarahkan pandangannya ke mana.

“Kamu berubah banyak,” kata perempuan itu, setelah mereka hanya diam untuk waktu beberapa saat yang terasa selamanya.

Kamu berubah juga, tapi tidak banyak, dan kamu berubah dengan cara yang pantas.

“Aku tidak menyangka kamu bisa sebesar ini. Kalau kita ketemu di jalan, aku pasti tidak mengenalimu.”

Aku pasti mengenalimu.

“Kamu sendirian?”

Ia mengangguk, dan menyusulinya dengan “Ya.”

“Tapi kamu memberi tahu istrimu, kan? Maksudku, dia mengizinkan kamu menemui aku.”

“Tidak ada masalah. Aku tidak perlu minta izin siapa pun.”

“Frans?”

“Kamu takut istriku marah?”

“Ya. Aku tidak mau dia—”

“Aku tidak punya istri. Jadi, kamu tidak perlu khawatir. Tidak pernah punya istri. Tentu aku mencoba berpacaran setelah kita berpisah. Sembilan kali, tapi tidak ada yang berjalan lama. Selalu ada perempuan lain di kepalaku, dan kurasa tidak ada satu pun dari perempuan-perempuan itu yang suka berpacaran dengan lelaki yang menyimpan perempuan lain di kepalanya.”

Lalu percakapan terhenti, sampai Frans menemukan kata-kata lagi untuk mengakhiri kebekuan:

“Oya, terima kasih sudah mengajak bertemu.”

“Kebetulan saja aku ada acara di sini. Anak gadisku menikah bulan lalu, dapat suami orang sini. Kemarin mereka bikin acara ngunduh mantu, resepsinya di tempat ini.”

“Ah, semoga mereka bahagia.”

“Ya.” Perempuan itu menarik napas lebih panjang, lalu menundukkan wajah ke arah kiri dan berkata, seperti bisikan kepada dirinya sendiri: “Tapi kadang-kadang aku tidak ingin dia menikah.” Ia seperti ingin menyembunyikan wajahnya ketika mengucapkan kalimat itu. Frans ingin menanyakan kenapa, tetapi ia tidak melakukannya, dan Marini, seperti menyadari kekeliruan yang harus diralat, buru-buru menambahkan:

“Tentu saja mereka akan bahagia. Aku tadi cuma terlintas begitu saja. Mungkin karena ia anakku satu-satunya. Aku ingin terus bersamanya dan memastikan dia selalu baik-baik saja.”

Frans leluasa memandanginya ketika perempuan itu menunduk. Wajah Marini sudah memiliki beberapa gurat samar, tetapi tidak kentara di bawah cahaya ruangan yang suram. Lalu ia mengambil sesuatu dari tasnya, sebuah kaus, dan memperlihatkannya kepada perempuan itu.

"Kausmu," katanya.

Marini mengamati kaus di tangan Frans.

"Aku tidak ingat," kata perempuan itu.

"Aku basah kuyup malam itu ketika mengantarmu pulang. Lalu kamu meminjamiku kaus ini."

“Kamu menyimpannya?”

“Ya. Tapi sudah tidak bisa kukenakan sekarang. Terlalu kecil.”

Perempuan itu menunduk lagi. Dari waktu ke waktu ia seperti harus melakukannya agar lelaki di hadapannya tidak melihat apa yang terpancar pada wajahnya.

“Aku benci kamu, Frans. Kamu pasti tidak tahu itu. Kamu tidak akan pernah tahu seperti apa benciku kepadamu.”

“Aku tahu, dan tidak akan membela diri.”

“Sebetulnya aku ingat. Semuanya aku ingat. Itu terakhir kali kita ketemu.”

“Ya.”

“Aku menyimpan baju basah yang kamu tinggalkan waktu itu.”

Frans hanya diam; ia menunggu.

“Tapi kemudian kubakar.”

“Ah, ya… kamu berhak melakukannya.”

“Aku marah padamu.”

“Aku tahu.”

“Tapi itu sudah lama.”

“Ya, 37 tahun.”

“Kamu tahu, aku menangis semalaman pada hari menjelang pernikahan. Ya, Tuhan. Aku betul-betul benci sekali kepadamu, Frans.”

Frans membeku, seperti bongkahan batu di pinggir sungai, memandangi perempuan itu memutar-mutar cincin di jari manis tangan kirinya. Ia sudah berkali-kali menggenggam tangan perempuan itu, dulu, sebelum ada cincin di jari manis.

“Suamimu baik?” tanyanya.

“Sangat baik,” kata Marini. “Dia sangat baik.”

“Senang mendengarnya.”

“Kadang kami bertengkar, tentu saja, sebab… ya… aku menjadi orang yang rumit. Aku menyadari itu—aku orang yang rumit. Ya, aku sangat menyadari bahwa aku orang yang rumit, tapi tetap saja… pada situasi-situasi tertentu aku tak bisa mengendalikannya. Aku sering—jika aku sedang kecewa padanya—aku sering membandingkannya dengan kamu. Tentu saja dia tidak sama dengan kamu. Dia tidak melakukan apa yang kamu lakukan, sedangkan aku berharap dia melakukan segala sesuatu seperti kamu melakukannya untukku. Pada saat lain, aku betul-betul takut dia melakukan sesuatu yang menyakiti aku seperti kamu melakukannya kepadaku. Aku—"

“Aku minta maaf.”

Frans memijit-mijit pundaknya sendiri selama Marini bicara, pundak kiri dan kemudian pundak kanan; ia ingin memijit tengkuk perempuan itu. Ia pernah melakukannya dulu ketika Marini mengatakan lelah sekali dan tengkuknya terasa tegang.

“Aku benci sekali kepadamu, Frans.”

“Ya. Aku juga—”

“Membenciku?”

Frans menggeleng. “Aku membenci diriku sendiri.”

Untuk kali pertama mereka saling memandang, dan keduanya sama-sama diam beberapa saat, seperti saling menyelam ke palung pikiran satu sama lain.

“Tapi aku cukup tenang sekarang. Aku berlatih pernapasan dan menyadari bahwa sebetulnya aku sendiri yang salah. Jika aku tidak menawarimu kopi waktu itu, semuanya tidak akan pernah terjadi. Aku akan baik-baik saja dan menikah ketika tiba waktunya dan tidak akan membandingkan suamiku dengan siapa pun. Aku tidak akan merasa takut suamiku akan menyakitiku seperti kamu melakukannya kepadaku. Aku tidak akan menjadi istri yang rumit bagi suamiku.”

“Seharusnya aku juga minta maaf ke dia. Tapi itu tidak mungkin. Kami tidak saling kenal. Tidak mungkin minta maaf kepadanya tanpa penjelasan. Kamu tidak mengajaknya kemari? Kamu tidak mau dia melihatku?”

“Sudah meninggal tiga tahun lalu.”

“Oh, maaf--”

“Kamu tahu aku sangat beruntung memiliki dia sebagai suamiku, Frans? Kamu tahu itu?”

“Ya, sangat beruntung.”

“Tapi dia tidak beruntung. Aku istri yang sulit. Sebabnya itu tadi. Aku menginginkan dia menjadi kamu, tetapi aku juga takut dia menjadi kamu. Sepanjang waktu aku menyimpan ketakutan itu. Kurasa dia tersiksa. Dia sakit-sakitan setelah pensiun.”

Marini tampak tegang dan tersiksa. Frans bangkit dari duduknya dan bergerak ke arah punggung Marini dan dengan jemari yang ragu-ragu ia memijiti tengkuk perempuan itu.

“Aku benci sekali kepadamu, Frans.”

Entah sudah berapa kali Frans mendengar ucapan itu. Marini mengambil kertas tisu dari tasnya dan mengusap wajah dengan tisu itu. Frans terus memijiti tengkuknya.

“Aku tahu dan aku minta maaf.”

“Kamu tidak pernah pergi dari kepalaku. Dan aku menjadi istri yang sulit kerena itu. Dan kurasa tidak ada suami yang akan baik-baik saja memiliki istri yang menyimpan lelaki lain di dalam kepalanya. Dan kamu tahu? Dia betul-betul menjadi seperti kamu….

“Hanya satu tahun sebelum pensiun dia melakukan apa yang kamu lakukan dan dia mengaku khilaf dan aku tidak bisa memaafkannya. Aku tidak bicara dengannya sampai dia meninggal.

“Jadi kamu tahu sekarang sebesar apa benciku kepadamu?”

Jari-jari Frans masih memijit, tetapi tanpa tenaga, dan akhirnya hanya diam saja di bahu Marini. Lalu ia membungkukkan badan dan mendekatkan wajahnya ke kepala Marini dan mencium ujung kepala perempuan itu, pelan-pelan seperti takut bibirnya menyentuh kulit kepala dan melukainya. Lalu ia lihat tangan Marini bergerak ragu ke arah tangannya di bahu, tetapi perempuan itu menghentikan gerak tangannya di tengah jalan dan mengembalikannya ke tempat semula di pangkuan.

Semua kenangan melintas-lintas di depan mata. Mereka bertemu dan membangun mimpi pada setiap pertemuan, di tempat mana pun mereka bertemu, dan ia merusak mimpi yang mereka bangun bersama. Dan waktu tidak menyembuhkan luka; ia hanya berjalan begitu saja, memberi mereka warna putih pada rambut dan gurat-gurat pada wajah, tetapi tidak menyembuhkan luka.[]


1 comment: