MEREKA hanya sebentar di kedai kopi itu, sebuah tempat di kota lama yang menawarkan ketuaan dan nostalgia dan pemandangan bangunan-bangunan ...

Dalam Hujan


MEREKA hanya sebentar di kedai kopi itu, sebuah tempat di kota lama yang menawarkan ketuaan dan nostalgia dan pemandangan bangunan-bangunan kolonial yang masih berdiri tegak, seperti jajaran soldadu tua yang masih ingin berarti, seperti matahari senja yang menolak terbenam, dan kedai itu sendiri menempati bangunan kolonial dengan dinding-dinding putih tebal dan jendela-jendela tinggi berbingkai kayu coklat tua dan tiang-tiang hijau dan lampu gantung bercahaya lembut; itu tempat bercakap-cakap yang menyenangkan sebetulnya, tempat yang tenang dan harum kopi di hari hujan, tetapi Muti merasa tidak nyaman ketika beberapa remaja masuk dan ia tahu salah satunya.

Muti menyeruput kopinya dan memberi tahu Damar, dalam suara rendah, bahwa anak yang berkaus krem itu teman adiknya.

“Yang duduk membelakangi kita,” katanya.

Damar menoleh, memandangi sebentar anak berkaus krem yang duduk di meja sudut bersama tiga temannya.

“Kita pergi saja kalau kamu tidak nyaman,” kata Damar.

“Dia tadi sempat memandang kemari saat di pintu masuk, entah dia melihatku atau tidak. Mudah-mudahan tidak.”

Sekarang mereka berdua menembus hujan. Muti di belakang kemudi, membawa mobilnya bergerak lambat menyusuri jalanan bergelombang di antara gedung-gedung tua, meninggalkan kawasan itu setelah beberapa kelokan.

“Ke mana kita?”

“Tidak tahu. Kamu yang punya kota ini.”

“Aku tidak tahu juga. Aku cuma ingin keluar dari tempat itu ketimbang dia melihatku.”

“Kita pikirkan sambil jalan saja kalau begitu.”

Jalanan mengabur oleh hujan dan suara Doris Day mengalun sedih bersama suara hujan yang mengetuk-ngetuk atap mobil. Muti ikut bernyanyi: “Fly me to the moon and let me play among the stars….” Gadis itu mengatakan bahwa ia lebih menyukai versi Doris Day ketimbang Frank Sinatra. Damar hanyut dalam lamunannya sendiri, merasa bahwa itu suara hati yang ditujukan kepadanya, tetapi gerakan wiper di kaca depan tampak seperti gerak tangan yang mencegahnya.

“Tahu apa yang kupikirkan tadi malam, Dam?”

Damar mengangkat bahu dan segera menyusulinya dengan “Apa?” ketika menyadari bahwa Muti tidak melihat gerak bahunya.

“Aku benci kita ketemu. Aku betul-betul benci kita ketemu.”

“Dua hari lagi aku pulang. Kamu tidak akan membenciku lagi.”

“Bukan membenci kamu. Aku benci kita harus ketemu lagi sekarang. Seharusnya aku tidak ikut menemuimu, seharusnya Mikael tidak membawaku—"

“Ya. Kupikir seharusnya begitu.”

“Kamu juga tidak suka kita ketemu?”

“Aku senang kita ketemu—”

“Tapi?”

Damar menggeleng. “Tidak ada tapi.”

“Sebetulnya aku juga senang. Ah, pikiranku kacau. Aku cuma sulit membayangkan bagaimana jika Mikael tahu soal ini. Bagaimana menurutmu jika Mikael tahu? Kalian teman baik sejak kecil.”

Ya, Mikael Kurniawan teman baik. Damar menutup mata sejenak dan menyandarkan kepalanya. Pertanyaan seperti itu juga yang mulai mendera pikirannya. Mereka berciuman di mobil kemarin ketika Muti mengantarnya pulang ke hotel, hanya ciuman singkat, hanya beberapa detik bibir mereka bersentuhan, dan ia turun dari mobil dengan rasa gembira yang meluap-luap dan berjalan ke pintu lift dengan langkah ringan. Baru ketika tiba di kamarnya di lantai tiga, ia merasakan kepalanya rusuh dan matanya menolak tidur hingga dinihari.

Tiap sebentar ia memeriksa ponselnya, melihat apakah ada pesan masuk dari Muti. Tidak ada. Ia sempat menulis pesan selamat tidur dan membaca pesan itu berulang kali dan menjadi ragu mengirimkannya. Dihapusnya lagi pesan itu dan ia masih terus memeriksa ponselnya berulang-ulang. Tetap tidak ada pesan masuk dari Muti.

Di kamarnya ia hanya bolak-balik merebahkan tubuh di tempat tidur dan berdiri di tepi jendela. Satu kali ia melihat dirinya di cermin dan mendapati wajah seseorang yang berkhianat. Ia benci melihat wajahnya sendiri. Ia dan Mikael tak terpisahkan semasa kanak-kanak dan mereka tak menyembunyikan rahasia satu sama lain dan sekarang ia menyembunyikan rahasia.

Mungkin ia perlu mempercepat kepulangannya, pulang begitu saja tanpa memberi tahu mereka, dan urusannya dengan Muti akan selesai sebelum menjadi berlarut-larut. Ia akan meminta maaf dalam hati kepada Mikael karena sudah  mengkhianatinya. Ia akan meminta maaf, dalam hati juga, kepada Muti karena telah mengacaukan perasaannya. Tapi, bagaimana jika ini cinta sejati? Bagaimana jika Muti memang jodohnya, perempuan yang harus ia perjuangkan, dengan cara apa pun, untuk menjadi pasangan hidupnya?

Dengan cara apa pun—itu berarti ia harus menghadapi Mikael dan ia harus melakukannya. Ia akan menjadi lelaki yang keji jika meninggalkan Muti begitu saja dan membiarkannya menikah dengan lelaki yang bukan jodohnya. Tentu rumah tangga mereka akan mengerikan. Muti tidak akan bahagia; Mikael mungkin akan menjadi suami yang menyedihkan dan mungkin suami yang kasar. Ia kenal Mikael. Ia tahu bahwa Mikael kadang kasar, senang menilai orang lain secara sembarangan, dan tidak begitu pintar. Mereka menjadi teman dekat hanya karena…

Damar menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti mengibaskan semua yang baru saja ia pikirkan. Mikael Kurniawan teman yang baik. Titik. Tidak perlu ia mencari-cari keburukan Mikael hanya untuk membenarkan hubungannya dengan Muti, bahkan kalaupun Muti jodohnya. Mungkin ia harus bicara baik-baik dengan Mikael, menyampaikan secara jujur apa yang sedang terjadi di antara mereka, dan memberi tahu Mikael bahwa Muti kemungkinan besar adalah jodohnya, bahwa ia dan Muti seperti halnya matahari dan bulan, yang satu memancarkan kehangatan dan yang lainnya memancarkan kelembutan. Kejujuran akan menjadi hal yang layak bagi persahabatan mereka. Memang tidak akan ada jalan mudah untuk situasi seperti ini, tetapi ia pikir semuanya harus diselesaikan dengan cara yang benar, demi persahabatan, dan agar mereka bisa melanjutkan hidup dengan kepala tegak.

Namun ia segera menghapus pikiran naif tentang pembicaraan baik-baik itu. Ia akan terdengar seperti orang gila jika tiba-tiba menemui Mikael dan mengatakan: “Mikael, aku dan Muti saling jatuh cinta. Kuharap kamu memahami situasi kami dan ikhlas membiarkan kami melanjutkan hubungan kami.” Bagaimana ia bisa menyampaikan kalimat seperti itu? Katakanlah ia bisa menyampaikannya secara lebih halus dan melingkar-lingkar, tetapi intinya tetap itu. Dan akan lebih gila lagi jika ia berharap Mikael menyambutnya baik-baik: “Aku paham sepenuhnya, Dam. Silakan kalian melanjutkan hubungan kalian, dan kita tetap bersahabat.”

Entah pukul berapa ia tertidur. Ia hanya tertidur begitu saja dan membuka mata karena ponselnya berdering membangunkannya dari tidur yang tak lelap. Muti mengatakan baru bisa datang nanti sore karena ada janji makan siang dengan seorang penulis: Agak rewel orangnya, tetapi buku-bukunya laris dan direktur penerbitan kami akan ngamuk jika ia sampai menerbitkan buku di tempat lain.

Aku tunggu di hotel saja,” kata Damar.

Oke, sore kujemput,” kata Muti. “Kita ke kedai kopi di kota lama.”

Itu akan menjadi waktu terakhirnya untuk bercakap-cakap berdua dengan Muti. Mikael pulang besok; dan ia meninggalkan Semarang lusa. Sampai jumpa Mikael, sampai jumpa Muti. Dan urusan berakhir dengan sendirinya. Dan keadaan kembali seperti semula. Itu juga penyelesaian yang baik. Ia tidak datang ke Semarang untuk merebut Muti dari Mikael; ia hanya kangen kepada kota kelahirannya, yang ia tinggalkan tiga belas tahun lalu pada usia empat belas karena ayahnya pindah tugas ke Maluku. Dan ia punya waktu libur sepekan untuk melakukannya.

Ia memberi tahu Mikael Kurniawan, kawan masa kanak-kanaknya yang tidak pernah meninggalkan kota kelahiran, bahwa ia akan ke Semarang. Dan Mikael menyambutnya dengan pelukan kuat di pintu kedatangan bandara pada hari ia mendarat.

“Ini Muti, Dam. Masih ingat?”

Alisnya bagus. Wajahnya sejuk. Damar tidak pernah membayangkan Muti akan secantik ini. Ia ingat ia dan Mikael berjongkok pagi-pagi di gerumbul dekat tikungan jalan setapak menuju pancuran, menunggu anak-anak perempuan mengambil air. Matahari belum terbit. Mereka membungkus diri rapat-rapat dengan kain sarung dan berdiri tiba-tiba ketika anak-anak perempuan itu sudah dekat. Tiga anak lari lintang pukang sambil menjerit-jerit dan Muti, yang paling kecil di antara mereka, berjongkok menangis. Malamnya ia dan Mikael dihukum tidur di luar tenda. Sekarang ia melihat cincin pertunangan di jari kelingking mereka.

“Awas kalau kamu buat dia menangis lagi,” kata Mikael. “Kucekik kamu.”

“Hei, bukan cuma aku yang membuat dia menangis.”

“Kalian berdua memang menyebalkan,” kata Muti.

Suaranya terdengar menenteramkan.

Hari itu juga mereka keluar makan malam bertiga dan berkeliling hingga larut dan keesokan paginya, ketika Damar sedang merokok di balkon depan kamar, Mikael menelepon dan menyampaikan, dengan nada uring-uringan, bahwa kantornya menugasi dia ke Kalimantan, sedikitnya lima hari, mengawal pemasangan panel surya untuk pelanggan di sana dan memberi supervisi.

“Jadi buat apa aku kemari?”

Itu dia! Si Nurdin ini brengsek betul, kakinya terkilir tadi malam dan aku yang harus menggantikannya berangkat. Liburanmu tidak bisa diperpanjang barang tiga hari, Dam?

Hujan tidak menderas dan tidak juga mereda dan sekarang sudah hampir setengah satu. Sudah empat jam lebih sejak meninggalkan kedai kopi, mereka hanya berkeliling-keliling menyusuri jalanan basah dan genangan-genangan air, dan sudah beberapa kali mengitari Simpang Lima. Damar memandangi Muti dengan kecamuk di kepala, dan kemudian mengalihkan pandangan ke kiri, memandangi batang-batang pohon di tepi jalan dan pagar-pagar bangunan. Tetes-tetes hujan meluncur pelahan di kaca jendela, seperti air mata yang mengalir pelan-pelan di pipi, dan lampu-lampu jalan berpendar dalam hujan.

Lalu ia kembali memandangi Muti dan di kepalanya tiba-tiba terlintas pikiran tolol untuk menculik gadis itu; itu pikiran yang lahir dari rasa murung dan putus asa bahwa waktu mereka sebentar lagi habis. Ia ingin membawa lari Muti sejauh-jauhnya saat itu juga, lari ke padang luas, menjadi sepasang rusa yang menumpahkan cinta sepenuhnya dengan perasaan lepas.

“Kamu tahu apa yang kupikirkan sekarang, Dam?”

“Kamu benci kita ketemu?”

“Bukan itu. Aku ingin menculikmu.”

“Kalau begitu lakukanlah. Atau aku yang melakukannya? Barusan aku juga berpikir menculikmu, membawamu ke tempat jauh, sejauh mungkin, ke tempat yang tidak seorang pun mengenal kita.”

Pukul dua mereka berpelukan di dalam mobil, sangat lama, di tempat parkir lantai bawah hotel tempat Damar menginap.

“Kamu akan kembali lagi kemari, kan? Katakan, Damar, katakan kamu akan kembali lagi kemari.”

“Ya, aku akan kemari lagi.”

Muti melepaskan pelukan.

“Kamu tidak akan kemari lagi. Aku merasa kamu tidak akan pernah kemari lagi.”

“Aku janji.”

Ia menggeleng. Matanya yang basah memandang jauh ke arah kosong.

“Kamu tidak perlu kemari lagi.”

Diraihnya tangan Damar; dilekatkannya tangan itu ke dadanya, tepat di ulu hati.

“Aku menyimpanmu di sini. Mungkin ini pertemuan terakhir kita. Aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu menyimpanmu di sini.”

Damar merasakan debar jantung gadis itu, seperti laut yang bergolak; ia merasakan cincin di jari manis gadis itu, laut di dalam dadanya bergolak.

“Apakah kamu akan selalu mengingatku?”

“Selalu mengingatmu.”

“Janji?”

“Janji.”

“Selamanya mengingatku?”

“Selamanya.”

Ia merasa pedih ketika Damar turun dari mobil; ia berpikir untuk turun juga, lalu naik berdua ke kamarnya, dan menghabiskan waktu terakhir yang mereka punya. Mikael baru akan tiba tengah hari nanti; mereka punya waktu beberapa jam. Tetapi ia mencegah diri sekuat-kuatnya. Ia tahu ia tidak akan sanggup bertahan jika ia sampai masuk ke kamar Damar.

Hari itu ia tidak masuk kantor dan mengatakan sakit kepala ketika Mikael menjemputnya untuk makan malam bersama Damar. Ia memang merasa kepalanya sakit, dan makin sakit ketika besoknya Mikael menjemput lagi untuk mengantarkan Damar ke bandara. Dari teras rumah ia melihat mobil Mikael di depan sana di tepi jalan dan Damar ada di dalamnya, menghadap ke depan. Jangan menoleh, Damar, jangan menoleh, aku akan mati jika mata kita bertemu.

Sesungguhnya ia ingin mengantarnya ke bandara, ia ingin pergi bersamanya, tapi ia menahan diri sekuat-kuatnya. Ia hanya sedikit menggerakkan tangan ketika mobil berjalan.

Lalu ia kembali ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang dan matanya tiap sebentar memeriksa ponsel, tiap sebentar memandangi jam dinding. Dua jam lagi Damar akan terbang, tetapi ia berjanji akan kemari lagi.[]

1 comment:

  1. Enak dibaca, tapi sy berharap utk mendapatkan ending yg lbh dramatis, trima ksh sudah menayangkannya, mas Sulak!

    ReplyDelete