Jurnal AS Laksana


Mengapa penulis fiksi lebih mampu menulis nonfiksi yang memikat


ITU bukan kebetulan. Para penulis fiksi yang baik membawa senjata andalan yang mereka dapatkan dari pengalaman mereka mengolah imajinasi: kemampuan bercerita, kepekaan terhadap detail, dan pemahaman terhadap emosi manusia. Nama-nama seperti Gabriel García Márquez, Ernest Hemingway, dan Mark Twain menunjukkan betapa kuatnya craftsmanship fiksi bekerja dalam tulisan-tulisan nonfiksi mereka.

Para penulis kontemporer seperti Joan Didion, George Saunders, atau Haruki Murakami dalam esai-esainya, memperlihatkan hal serupa. Dengan keterampilan mereka bercerita, mereka dapat mengubah laporan, memoar, atau esai menjadi tulisan yang jauh lebih memikat.

Di Indonesia, kita memiliki Linda Christanty yang mampu mendayagunakan keterampilannya dalam fiksi untuk menghasilkan laporan-laporan jurnalistik yang bercerita sama kuatnya dengan fiksi-fiksinya.

Detail dan Imaji

Penulis fiksi terbiasa “membangun dunia” dari nol. Mereka memahami bahwa kekuatan sebuah cerita terletak pada detail yang menyentuh indra pembaca: suara, bau, tekstur, cahaya, termasuk juga keheningan. Ketika mereka menulis nonfiksi—baik itu reportase, memoar, atau kritik seni—keterampilan ini tetap hadir dan memberi nyawa pada fakta-fakta kering.

Gabriel García Márquez adalah contoh paling menonjol. Dalam buku-buku nonfiksinya seperti The Story of a Shipwrecked Sailor, Clandestine in Chile, dan News of a Kidnapping, ia menyusun ulang fakta dan kejadian melalui deskripsi dan teknik penceritaan yang membuat kita merasa sedang membaca novel. Ia tahu bagaimana membuat realitas “berbicara” melalui kejelian memilih detail, mengembangkan karakter, dan membangun ketegangan naratif. Itu semua kecakapan yang ia bawa dari wilayah fiksi.

Menarasikan Fakta


Penulis fiksi yang baik paham bahwa cerita membutuhkan struktur, membutuhkan plot, membutuhkan tangga dramatis, dan membutuhkan karakter-karakter yang sanggup memaksa pembaca peduli. Mereka memperlakukan nonfiksi dengan cara serupa; esai nonfiksi memerlukan “plot” untuk menjadikannya narasi yang memikat; laporan jurnalistik memerlukan karakter; catatan perjalanan memerlukan adegan. Mereka tahu bahwa menyajikan informasi saja tidak cukup; mereka membangun ketegangan yang merayap menuju klimaks dan membuat penyelesaian yang meninggalkan kesan.

Hemingway, dengan gaya minimalisnya, mengolah fakta-fakta mentah menjadi laporan yang menyiratkan ketegangan. Dalam esai-esai perjalanannya seperti Green Hills of Africa, ia menggabungkan refleksi pribadi, deskripsi lanskap, dan dinamika emosional dalam struktur cerita yang membuat pembaca merasa berada di sampingnya.

Cerpenis George Saunders juga menerapkan prinsip ini. Ketika Saunders menulis esai nonfiksi—misalnya dalam buku A Swim in a Pond in the Rain—ia menyampaikan ide-ide kompleks dengan alur naratif yang menarik, dialog, dan humor.

Para penulis fiksi memahami bahwa meskipun nonfiksi berbasis fakta, ia tetap harus bergerak maju seperti sebuah cerita.

Orang-Orang di Dunia Nyata sebagai Karakter

Dalam fiksi, penulis belajar bagaimana memahami dan menggali kompleksitas karakter—apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka rasakan, dan bagaimana dunia mempengaruhi mereka. Kefasihan dalam menggali kompleksitas karakter ini, ketika diterapkan pada tokoh-tokoh nyata, akan membuat mereka sama menariknya dengan karakter fiksi.

Mark Twain, dengan mata dan telinga yang tajam untuk menangkap kehidupan di sekitarnya, memindahkan orang-orang dari dunia nyata ke halaman-halaman buku dan menghidupkan mereka melalui dialog, humor, dan empati terhadap kemanusiaan. Dalam Life on the Mississippi, orang-orang yang ia temui di dunia nyata terasa seperti tokoh-tokoh yang muncul dari halaman-halaman novel.

Joan Didion, penulis esai The Year of Magical Thinking, menunjukkan pemahaman tentang karakter dan menggunakannya untuk memberikan kedalaman emosional pada tokoh-tokoh nonfiksi. Dalam esai-esainya yang sering melibatkan isu sosial dan refleksi personal, Didion menggali motif dan perasaan manusia dengan ketelitian seorang novelis. Pembaca diajak melihat pengalaman orang-orang dan merasakan konflik batin mereka.

Tema Universal dan Kepekaan terhadap Emosi


Penulis fiksi memahami bahwa cerita yang baik adalah upaya menggambarkan secara akurat kondisi manusia—emosinya, rasa kehilangannya, cintanya, dan pencarian makna yang dilakukannya.

Karena itu sangat beralasan ketika The New Yorker mengirimkan John Hersey, yang novelnya A Bell fo Adano memenangi hadiah Pulitzer 1945, ke Hiroshima ketika majalah tersebut ingin menurunkan liputan panjang untuk memperingati setahun dijatuhkannya bom atom di kota itu. Dan John Hersey menjawabnya dengan laporan jurnalistik yang memukau: “Hiroshima”, yang dimuat satu majalah penuh The New Yorker edisi Agustus 1946.

Pada 1999, laporan tersebut dinobatkan sebagai karya jurnalisme Amerika terbaik abad ke-20 oleh panel beranggotakan 36 orang dari departemen jurnalisme New York University.

Hersey menceritakan kehancuran akibat bom atom melalui kehidupan enam penyintas dan menyusun cerita mereka dengan pendekatan khas fiksi: karakterisasi yang kuat, detail sensorik yang membuat pembaca seperti berada di tempat kejadian, dan struktur naratif yang mengikat pembaca dari awal hingga akhir. Dengan cara ini, ia membuat tragedi Hiroshima itu terasa dekat, personal, dan tak terlupakan.

Ia menggali kehidupan enam penyintas itu sebelum, saat, dan sesudah ledakan. Ia memetakan rasa takut, kepedihan, dan harapan mereka dengan sangat manusiawi. Hersey meminjam teknik close-up ala fiksi—membawa pembaca masuk ke dalam pikiran dan perasaan tokoh-tokoh nyata ini—sehingga kisah mereka menjadi kisah siapa saja dan membekas dalam memori kolektif manusia.

Manusia Menyukai Cerita

Dunia ini penuh cerita, sebab manusia menyukai cerita. Dan penulis fiksi adalah orang-orang yang tekun mengasah kecakapan bercerita. Maka, ketika penulis fiksi menaruh perhatiannya pada dunia nyata, ia akan menggunakan kecakapannya untuk mengubah fakta menjadi pengalaman, informasi menjadi emosi, dan manusia—dengan segala kerumitannya—kembali menjadi pusat perhatian.

Inilah sebabnya mengapa penulis seperti García Márquez, Mark Twain, Hemingway, dan John Hersey memikat dalam tulisan nonfiksi mereka: Mereka tahu bahwa cerita, dalam berbagai bentuknya, selalu punya kekuatan untuk menghidupkan dunia di benak pembaca.

Dan bukankah itu tujuan akhir dari cerita yang baik? Ia menghidupkan kembali apa yang sering kita lupakan. Ia memberi makna pada fakta dan kejadian dan segala yang terlihat acak dalam kehidupan.

Mungkin anda tidak harus menjadi penulis fiksi terlebih dulu; cukup bagi anda memahami bagaimana fiksi bekerja, dan itu membantu anda menulis lebih baik.


Salam,

A.S. Laksana


---

Artikel lain:

Mengapa anda justru perlu belajar menulis di era AI

Menulislah seolah-olah kepada satu orang

Teknik mengajarkan penulisan kepada anak-anak



MENGAPA ANDA MEMERLUKANNYA?

1. Anda ingin menulis tetapi tidak punya ide.

2. Anda punya banyak ide tetapi tidak tahu bagaimana mengembangkannya dan harus mulai dari mana.

3. Anda punya banyak ide tetapi selalu menunda-nunda.


  

No comments:

Post a Comment