![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh50hyBtv9MJ-cpONTz5T6vkXoUWcBfoRL4XSRv1DuE9IbYQvvA07S3l5_tM9cTktUzYZ_48dkgpb11qRrAMeocC5UqF8UVizwxthymyQtMtCGblttzyu86Aofs3FB4cml5A-rrwaSj88aTV72UYUCAIGfukGcwFkh6MjleYAASIvzxCJ-xATEWMkbKwaXY/w640-h640/why_fiction_writers.jpg)
ITU bukan kebetulan. Para penulis fiksi yang baik membawa senjata andalan yang mereka dapatkan dari pengalaman mereka mengolah imajinasi: kemampuan bercerita, kepekaan terhadap detail, dan pemahaman terhadap emosi manusia. Nama-nama seperti Gabriel García Márquez, Ernest Hemingway, dan Mark Twain menunjukkan betapa kuatnya craftsmanship fiksi bekerja dalam tulisan-tulisan nonfiksi mereka.
Para penulis kontemporer seperti Joan Didion, George
Saunders, atau Haruki Murakami dalam esai-esainya, memperlihatkan hal serupa. Dengan
keterampilan mereka bercerita, mereka dapat mengubah laporan, memoar, atau esai
menjadi tulisan yang jauh lebih memikat.
Di Indonesia, kita memiliki Linda Christanty yang mampu
mendayagunakan keterampilannya dalam fiksi untuk menghasilkan laporan-laporan
jurnalistik yang bercerita sama kuatnya dengan fiksi-fiksinya.
Detail dan Imaji
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiK5hZ91cAwegL0Bu_Eoui_gMmrrVJ83KcNdYkFZz0Stmh-e3U9z9NukKR_lq61dcAQY6NFd4jkOd8-clqy3K9ACfMmUKTIDyBg-MFiwPvfS6LsyDaSBPqX1gPznwdDwdnTkTDZGA7eMcs94HXNBWWspLGNY2SPsGWTsoWKfHfP9upH8KQ3SaPjJ3Z3crf/w195-h300/kidnapping.jpg)
Penulis fiksi terbiasa “membangun dunia” dari nol. Mereka memahami bahwa kekuatan sebuah cerita terletak pada detail yang menyentuh indra pembaca: suara, bau, tekstur, cahaya, termasuk juga keheningan. Ketika mereka menulis nonfiksi—baik itu reportase, memoar, atau kritik seni—keterampilan ini tetap hadir dan memberi nyawa pada fakta-fakta kering.
Gabriel García Márquez adalah contoh paling menonjol. Dalam buku-buku
nonfiksinya seperti The Story of a Shipwrecked Sailor, Clandestine in
Chile, dan News of a Kidnapping, ia menyusun ulang fakta dan
kejadian melalui deskripsi dan teknik penceritaan yang membuat kita merasa
sedang membaca novel. Ia tahu bagaimana membuat realitas “berbicara” melalui kejelian
memilih detail, mengembangkan karakter, dan membangun ketegangan naratif. Itu semua
kecakapan yang ia bawa dari wilayah fiksi.
Menarasikan Fakta
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjk8tgSI7XRTSUiHi3z3urGRpc7DTfxdHwPHmyY9rNxGs-IzoPmgEF_mJbgqIrapLpjnJ3oW4DmUee4Szp0M9W-L3_YU2oThyKV1SGUL6x8s6aE8ZIrxtJ5jTzjBgEMFymP6Z8srbgS4cj8xzzUL8Z4fhA1ZWWcy2J8QgZcX4N3BVNKuZ-cuO6uuztHYSea/s320/green_hills_of_africa.jpg)
Penulis fiksi yang baik paham bahwa cerita membutuhkan struktur, membutuhkan plot, membutuhkan tangga dramatis, dan membutuhkan karakter-karakter yang sanggup memaksa pembaca peduli. Mereka memperlakukan nonfiksi dengan cara serupa; esai nonfiksi memerlukan “plot” untuk menjadikannya narasi yang memikat; laporan jurnalistik memerlukan karakter; catatan perjalanan memerlukan adegan. Mereka tahu bahwa menyajikan informasi saja tidak cukup; mereka membangun ketegangan yang merayap menuju klimaks dan membuat penyelesaian yang meninggalkan kesan.
Hemingway, dengan gaya minimalisnya, mengolah fakta-fakta
mentah menjadi laporan yang menyiratkan ketegangan. Dalam esai-esai
perjalanannya seperti Green Hills of Africa, ia menggabungkan refleksi
pribadi, deskripsi lanskap, dan dinamika emosional dalam struktur cerita yang
membuat pembaca merasa berada di sampingnya.
Cerpenis George Saunders juga menerapkan prinsip ini. Ketika
Saunders menulis esai nonfiksi—misalnya dalam buku A Swim in a Pond in the
Rain—ia menyampaikan ide-ide kompleks dengan alur naratif yang menarik, dialog,
dan humor.
Para penulis fiksi memahami bahwa meskipun nonfiksi berbasis
fakta, ia tetap harus bergerak maju seperti sebuah cerita.
Orang-Orang di Dunia Nyata sebagai Karakter
Dalam fiksi, penulis belajar bagaimana memahami dan menggali
kompleksitas karakter—apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka rasakan, dan
bagaimana dunia mempengaruhi mereka. Kefasihan dalam menggali kompleksitas
karakter ini, ketika diterapkan pada tokoh-tokoh nyata, akan membuat mereka sama
menariknya dengan karakter fiksi.
Mark Twain, dengan mata dan telinga yang tajam untuk menangkap
kehidupan di sekitarnya, memindahkan orang-orang dari dunia nyata ke halaman-halaman
buku dan menghidupkan mereka melalui dialog, humor, dan empati terhadap
kemanusiaan. Dalam Life on the Mississippi, orang-orang yang ia temui di
dunia nyata terasa seperti tokoh-tokoh yang muncul dari halaman-halaman novel.
Joan Didion, penulis esai The Year of Magical Thinking,
menunjukkan pemahaman tentang karakter dan menggunakannya untuk memberikan
kedalaman emosional pada tokoh-tokoh nonfiksi. Dalam esai-esainya yang sering
melibatkan isu sosial dan refleksi personal, Didion menggali motif dan perasaan
manusia dengan ketelitian seorang novelis. Pembaca diajak melihat pengalaman
orang-orang dan merasakan konflik batin mereka.
Tema Universal dan Kepekaan terhadap Emosi
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgR-a9Hr8UynX5j7O6f_fvMMdGY8oQv9sTdkGwzLeXiLg_iqfHidF7SjZ8lf3tRfb02g7fO4wot7UgqmcIVZt0B-oU1bp5sup8m-kWnlPTXCvynC9zT-_8pS_3qybWyTniszcrb-zCKlF5cV3WdDbQTZh2Fh0h10l0RJ-PcyHkEnzdmb_79V2P53BZjxrUj/s320/hiroshima_hersey.jpg)
Penulis fiksi memahami bahwa cerita yang baik adalah upaya menggambarkan secara akurat kondisi manusia—emosinya, rasa kehilangannya, cintanya, dan pencarian makna yang dilakukannya.
Karena itu sangat beralasan ketika The New Yorker
mengirimkan John Hersey, yang novelnya A Bell fo Adano memenangi hadiah Pulitzer
1945, ke Hiroshima ketika majalah tersebut ingin menurunkan liputan panjang
untuk memperingati setahun dijatuhkannya bom atom di kota itu. Dan John Hersey
menjawabnya dengan laporan jurnalistik yang memukau: “Hiroshima”, yang dimuat
satu majalah penuh The New Yorker edisi Agustus 1946.
Pada 1999, laporan tersebut dinobatkan sebagai karya
jurnalisme Amerika terbaik abad ke-20 oleh panel beranggotakan 36 orang dari departemen
jurnalisme New York University.
Hersey menceritakan kehancuran akibat bom atom melalui
kehidupan enam penyintas dan menyusun cerita mereka dengan pendekatan khas
fiksi: karakterisasi yang kuat, detail sensorik yang membuat pembaca seperti
berada di tempat kejadian, dan struktur naratif yang mengikat pembaca dari awal
hingga akhir. Dengan cara ini, ia membuat tragedi Hiroshima itu terasa dekat,
personal, dan tak terlupakan.
Ia menggali kehidupan enam penyintas itu sebelum, saat, dan
sesudah ledakan. Ia memetakan rasa takut, kepedihan, dan harapan mereka dengan
sangat manusiawi. Hersey meminjam teknik close-up ala fiksi—membawa
pembaca masuk ke dalam pikiran dan perasaan tokoh-tokoh nyata ini—sehingga
kisah mereka menjadi kisah siapa saja dan membekas dalam memori kolektif
manusia.
Manusia Menyukai Cerita
Dunia ini penuh cerita, sebab manusia menyukai cerita. Dan penulis
fiksi adalah orang-orang yang tekun mengasah kecakapan bercerita. Maka, ketika penulis
fiksi menaruh perhatiannya pada dunia nyata, ia akan menggunakan kecakapannya
untuk mengubah fakta menjadi pengalaman, informasi menjadi emosi, dan
manusia—dengan segala kerumitannya—kembali menjadi pusat perhatian.
Inilah sebabnya mengapa penulis seperti García Márquez, Mark
Twain, Hemingway, dan John Hersey memikat dalam tulisan nonfiksi mereka: Mereka
tahu bahwa cerita, dalam berbagai bentuknya, selalu punya kekuatan untuk menghidupkan
dunia di benak pembaca.
Dan bukankah itu tujuan akhir dari cerita yang baik? Ia menghidupkan kembali apa yang sering kita lupakan. Ia memberi makna pada fakta dan kejadian dan segala yang terlihat acak dalam kehidupan.
Mungkin anda tidak harus menjadi penulis fiksi terlebih dulu; cukup bagi anda memahami bagaimana fiksi bekerja, dan itu membantu anda menulis lebih baik.
Salam,
A.S. Laksana
---
Artikel lain:
Mengapa anda justru perlu belajar menulis di era AI
Menulislah seolah-olah kepada satu orang
Teknik mengajarkan penulisan kepada anak-anak
1. Anda ingin menulis tetapi tidak punya ide.
2. Anda punya banyak ide tetapi tidak tahu bagaimana mengembangkannya dan harus mulai dari mana.
3. Anda punya banyak ide tetapi selalu menunda-nunda.
No comments:
Post a Comment