Jurnal AS Laksana


The Remains of the Day: Kecerdikan Kazuo Ishiguro dalam narasi yang tak tepercaya


JIKA anda menonton film The Remains of the Day sebelum membaca novelnya, anda beruntung bisa menikmati bagaimana film itu memperlihatkan secara halus perkembangan emosi karakter-karakternya dan bagaimana si kepala pelayan Stevens (diperankan oleh Anthony Hopkins), yang selalu berusaha profesional dan menjaga ‘dignity’, berupaya keras menekan perasaan cintanya kepada Miss Kenton (diperankan oleh Emma Thompson), dan bahkan ia tidak menaruh perhatian kepada ayahnya sendiri pada saat orang tua itu meninggal.

Anda beruntung karena tidak akan membandingkan antara film dan novelnya. Novelnya sangat bagus.

Saya beberapa kali membaca novel ini dan selalu takjub pada cara penulisnya menyajikan cerita. Kazuo Ishiguro menghaturkan novel itu kepada pembaca dalam cara yang tampak sederhana di permukaan tetapi memikat dalam sejumlah hal.

*

Narator novel, Stevens, seorang kepala pelayan yang sangat kaku dan terobsesi pada profesionalisme, menceritakan dirinya melalu monolog internal dan retrospeksi yang penuh penyangkalan dan bias pribadi. Itu melahirkan narasi yang subtil oleh narator yang tidak bisa dipercaya. Dengan cara ini, Ishiguro menciptakan ketegangan antara apa yang diceritakan oleh Stevens dan kenyataan yang dipahami oleh pembaca.

Kepala pelayan di Darlington Hall itu terus-menerus menyangkal perasaannya terhadap Miss Kenton, sementara pembaca bisa menangkap bahwa ia mencintai Miss Kenton, dan Miss Kenton sendiri ingin melihat Stevens jujur dengan perasaannya. Teknik penghindaran dan eufemisme ini menghasilkan kesedihan dan ironi yang berlapis-lapis, karena pembaca mengetahui kebenaran yang tidak diakui oleh Stevens. Bahkan untuk situasi yang sangat emosional ketika Miss Kenton memberi tahu bahwa dia dilamar orang, dan berharap Stevens mencegahnya, kepala pelayan itu tetap menjaga jarak.

“Mr. Stevens, saya ingin menyampaikan sesuatu kepada anda.”

"Ya, Miss Kenton?”

“Ini menyangkut kenalan saya. Yang akan saya temui malam ini.”

“Ya, Miss Kenton.”

“Dia melamar saya. Saya pikir anda berhak tahu soal ini.”

“Tentu, Miss Kenton. Itu sangat menarik.”

“Saya masih mempertimbangkannya.”

“Itu bagus.”

Dia menunduk memandangi tangannya, tetapi sesaat kemudian tatapannya kembali kepada saya.

“Kenalan saya akan mulai bekerja di West Country bulan depan.”

“Ya.”

“Seperti yang saya katakan, Mr. Stevens, saya masih mempertimbangkan hal ini. Namun, saya merasa anda perlu mengetahui situasinya.”

“Saya sangat berterima kasih, Miss Kenton. Saya berharap anda menikmati malam yang menyenangkan. Sekarang, jika anda berkenan, saya permisi.”

Dalam keseluruhan novel, Ishiguro menggunakan bahasa yang mencerminkan kepribadian Stevens: formal, terjaga, dan penuh eufemisme. Ini cara cerdik untuk menunjukkan penghindaran Stevens terhadap realitas emosionalnya. Dan ketika ia berefleksi tentang Miss Kenton, ia akan cenderung menggunakan kalimat panjang yang berputar-putar untuk menyamarkan emosinya.

*

Selain menggambarkan kepribadian narator secara akurat, gaya penuturan yang digunakan oleh Ishiguro dalam novel ini juga secara kuat mewakili tema novel tentang represi dan penyangkalan. Sebagian besar drama dalam novel ini terjadi hanya di dalam pikiran Stevens. Konflik eksternal, seperti konsekuensi dari keputusan tuannya (Lord Darlington) yang mendukung Nazi, hanya menjadi latar belakang. Ishiguro menggantikan aksi-aksi besar dalam kisah berlatar kebangkitan Nazi itu dengan refleksi dan penyesalan.

Panggung utama novel itu adalah benak Stevens. Dengan fokus pada introspeksi karakter utama, Ishiguro menunjukkan bahwa tragedi terbesar kadang terletak dalam pilihan kecil yang diabaikan atau kesempatan yang dilewatkan. Dalam kasus Stevens, ia memilih untuk tetap menjaga ‘dignity’ ketimbang mengikuti dorongan emosional. Ia tetap memilih menjalankan tugas bahkan ketika ayahnya meninggal. Dialog Stevens dengan Miss Kenton di bawah ini memperlihatkan penyangkalan itu.

“Mr. Stevens, saya turut berduka cita. Ayah anda meninggal sekitar empat menit lalu.”

“Saya tahu.”

“Apakah anda akan naik dan melihatnya?”

“Saya sedang sangat sibuk sekarang, Miss Kenton. Mungkin sebentar lagi.”

“Kalau begitu, Mr. Stevens, apakah anda mengizinkan saya menutup matanya?”

“Saya akan sangat berterima kasih jika anda melakukannya, Miss Kenton.”

Dia naik tangga, tetapi saya menghentikannya dan berkata: “Miss Kenton, tolong jangan anggap saya terlalu tidak pantas karena tidak naik untuk melihat ayah saya dalam kondisi wafat saat ini. Anda tahu, saya yakin ayah saya lebih suka saya tetap melanjutkan tugas saya sekarang.”

“Tentu, Mr. Stevens.”

“Melakukan hal lain, menurut saya, akan mengecewakan dia.”

“Tentu, Mr. Stevens.”

Di sini, Stevens menggunakan ‘dignity’ ayahnya sebagai alasan bagi keputusannya sendiri bahwa meneruskan tugas profesional lebih penting daripada memberikan penghormatan pribadi pada momen yang sangat emosional​. Namun, pada saat yang sama, dia mungkin tahu bahwa yang dilakukannya sungguh tidak pantas; ucapannya kepada Miss Kenton ketika perempuan itu naik tangga mengisyaratkan hal itu.

Sikap Stevens terhadap ayahnya ini membingungkan. Pada satu paragraf ia menyebutkan bahwa ayahnya, bekas kepala pelayan di Loughborough House, di puncak kariernya adalah perwujudan dari ‘dignity’ itu sendiri, namun selanjutnya ia menyusulkan sejumlah catatan, yang intinya adalah ayahnya dari generasi yang sudah lalu.

Saya menyadari bahwa jika kita melihat masalah ini secara objektif, kita harus mengakui bahwa ayah saya kurang memiliki berbagai atribut yang lazim diharapkan dari seorang kepala pelayan besar. Namun atribut-atribut yang tidak dimilikinya itu, menurut hemat saya, sebetulnya hanya atribut yang dangkal dan bersifat dekoratif, atribut yang tak diragukan lagi memang menarik seperti lapisan gula pada kue, tetapi tidak berkaitan dengan apa yang benar-benar esensial.

*

The Remains of the Day menggabungkan dua jalur waktu utama: perjalanan Stevens melintasi pedesaan Inggris di masa kini (1950-an) dan kilas balik ke masa keemasan kariernya sebagai kepala pelayan di Darlington Hall. Struktur ini memungkinkan kita menyaksikan bagaimana masa lalu terus mempengaruhi keputusan dan perasaan Stevens di masa kini, dan Ishiguro menggabungkan kedua jalur waktu ini secara mulus untuk menciptakan kontras antara harapan di masa lalu dan kekecewaan di masa kini.

Kita bisa merasakan kepahitan itu dalam adegan ketika Stevens meneruskan perjalanan sehari setelah bertemu Miss Kenton. Refleksinya tetap tertata dan penuh eufemisme, dan itu justru memperkuat perasaan pahit di pihak pembaca yang memahami cinta Stevens yang tak pernah diungkapkan.

Subplot novel ini adalah kehancuran reputasi Lord Darlington, konsekuensi yang harus ia terima karena keputusannya untuk berkolaborasi dengan Nazi. Ishiguro menyajikan masalah pelik ini melalui sudut pandang seorang pelayan yang setia, dan efeknya kita mendapatkan perspektif yang tidak klise dan tidak hitam putih. Dalam kerumitan psikologis dan kompleksitas pandangan moralnya sebagai kepala pelayan, kita tidak mungkin memuji atau mengutuk Stevens karena kesetiaannya kepada Lord Darlington—bangsawan yang tetap terhormat di mata pelayan setianya.

Apa pun yang mungkin dikatakan tentang tuan besar saat ini—dan sebagian besar dari itu, sebagaimana yang sudah saya katakan, adalah sepenuhnya omong kosong—saya dapat menyatakan bahwa ia orang yang benar-benar baik hati, seorang pria terhormat, dan salah satu yang membuat saya bangga bahwa saya telah mengabdikan tahun-tahun terbaik pelayanan saya kepadanya.

Stevens menegaskan kebanggaannya atas pengabdiannya, meskipun reputasi Lord Darlington hancur karena keputusan politiknya​. Si kepala pelayan melakukan itu sebetulnya demi mempertahankan ‘dignity’-nya sendiri. Dan ia enggan menyinggung fakta bahwa tuannya telah melakukan kesalahan fatal dalam mendukung Nazi; jika ia melakukannya, ia akan meruntuhkan identitas dan kebanggaannya sendiri sebagai pelayan yang setia.

*

Sepanjang novel, Ishiguro menggunakan gaya bertutur yang formal, reflektif, penuh eufemisme dan ujaran berputar-putar, sebab hanya tuturan seperti itulah yang cocok dengan kepribadian karakter. Gaya itu diperlukan untuk mendukung tema utama novel, memperkuat karakterisasi Stevens, dan menciptakan pengalaman membaca yang intim namun harus selalu kita ragukan kebenarannya.

Stevens adalah kepala pelayan yang mengikatkan diri secara ekstrem pada gagasan "dignity" dan profesionalisme. Kalimat-kalimat formal, eufemisme, dan penyangkalan di sana-sini mencerminkan cara Stevens menutupi kesedihannya, menutupi rasa bersalahnya, dan melindungi dirinya dari kenyataan bahwa ia telah membuat keputusan-keputusan “profesional” yang mengorbankan kebahagiaannya.

Narasi yang tak tepercaya dalam novel ini muncul alami dari kepribadian Stevens. Ia tidak berbohong secara sengaja, tetapi hanya cara itulah yang membuatnya bertahan dari rasa sakit.

Ia menyangkal perasaannya terhadap Miss Kenton dan selalu menganggap hubungan mereka sebagai profesional sepenuhnya, sebab mengakui perasaan akan mencederai profesionalitasnya, dan berlaku tidak profesional akan meruntuhkan martabatnya. Namun, dari cara Stevens menggambarkan detail kecil, pembaca akan menangkap isyarat tentang cinta yang tidak pernah dia akui secara eksplisit.

Gaya narasi ini efektif dalam membangun ironi yang tragis: Stevens tidak pernah benar-benar menyadari betapa banyak yang telah ia korbankan dalam hidupnya demi “dignity”, sementara pembaca sudah menyadari tragedinya jauh sebelum ia sendiri menyadarinya.

Narasi tak tepercaya dalam novel ini memungkinkan pembaca melihat perbedaan antara apa yang dikatakan oleh narator dan kebenaran yang ia tolak. Pendekatan ini membuat pembaca harus “mengisi celah” dalam cerita berdasarkan petunjuk-petunjuk kecil dari pernyataan dan penyangkalan si narator.

Ia menggunakan ‘dignity’ untuk menghindari luapan emosi atas kematian ayahnya, sebab luapan emosi tidak profesional dan tidak bermartabat. Ia mungkin sedang berbohong, atau lebih tepat membohongi dirinya sendiri ketika mengatakan bahwa ayahnya lebih suka ia mengerjakan tugas. Ayahnya mungkin sebenarnya membutuhkan kehadirannya. Kita seperti berhadapan dengan kanak-kanak yang berbohong, dan kita tahu bahwa ia sedang berbohong, tetapi kita bisa memahami kebohongannya dan bersimpati kepadanya.

*

Ketidakmampuan Stevens untuk sepenuhnya jujur kepada dirinya menjadikannya karakter yang tragis. Kalimat-kalimatnya sering berisi pembenaran untuk pilihan-pilihannya di masa lalu, dan kita tahu bahwa semua yang ia sampaikan adalah upaya pembelaan diri.

Ia menjunjung profesionalisme dan mencurahkan pengabdian, sesempurna mungkin, kepada Lord Darlington, hanya untuk menjumpai kenyataan pahit bahwa tuannya adalah orang yang dianggap pengkhianat oleh semua orang karena bekerja sama dengan Nazi. Ia mencegah dirinya dari hubungan yang tidak profesional dengan Miss Kenton, salah satu anak buahnya, hanya untuk menerima kenyataan pahit bahwa upaya kerasnya untuk menegakkan profesionalitas membuatnya kehilangan orang yang ia cintai dan mencintainya.

Bagaimana mengatasi semua kepahitan ini? Dengan penyangkalan, dengan penuturan yang formal dan berjarak, dengan narasi yang tidak sepenuhnya bisa dipercaya.

Dan ketika situasi berubah, Darlington Hall beralih ke pemilik baru dari Amerika Mr. Farraday, Stevens tetap kepala pelayan yang menjunjung martabat dan profesionalitas. Pada saat inilah ia mengusulkan kepada tuan barunya untuk merekrut satu pelayan lagi yang sangat mumpuni untuk menangani urusan-urusan yang berantakan: Miss Kenton.

Dua puluh tahun setelah ia membiarkan Miss Kenton menikah dengan pria lain, Stevens melihat kemungkinan untuk menarik kembali perempuan itu ke Darlington Hall. Dia telah membaca surat-surat Miss Kenton yang dikirimkan untuknya, yang menceritakan ketidakbahagiaan rumah tangganya, dan Stevens masih tetap berputar-putar dalam menuturkan hal itu:

Tentu saja menyedihkan bahwa pernikahannya kini berakhir dengan kegagalan... Pada saat ini, tidak diragukan lagi, dia sedang merenungkan dengan penuh penyesalan keputusan-keputusan yang diambilnya di masa lampau yang jauh, yang sekarang membuatnya, di usia pertengahan, begitu sendirian dan nelangsa. Dan mudah untuk melihat bagaimana dalam keadaan pikiran seperti itu, tawaran untuk kembali ke Darlington Hall akan menjadi penghiburan besar baginya.

Dan tentu saja, dari sudut pandang profesional saya sendiri, jelas bahwa bahkan setelah jeda selama bertahun-tahun, Miss Kenton akan menjadi solusi sempurna untuk masalah yang saat ini kami hadapi di Darlington Hall.

Kita tahu bahwa sebetulnya dia sendirilah yang penuh penyesalan dan dia melihat peluang untuk kesempatan kedua, untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu, tetapi Stevens tetap menghindari pengakuan dan menggunakan dalih ‘dari sudut pandang profesional saya sendiri’. Dalam cara yang berputar-putar, dia membuat asumsi bahwa Miss Kenton tentu akan senang kembali ke Darlington Hall, dan kita tahu persis bahwa dia sendiri yang ingin melihat Miss Kenton kembali​.

*

Stevens menyetir mobil sendirian, menempuh jarak jauh, menemui Miss Kenton, dan dalam cara yang patut, sopan, dan terjaga, ia menggambarkan keadaan Miss Kenton:

Dia, tentu saja, sedikit menua, tetapi setidaknya di mata saya, tampaknya dia menua dengan cara yang sangat anggun.

Dan Stevens harus menghadapi kenyataan yang tak pernah ia pikirkan: Miss Kenton, yang kini menjadi Ny. Benn, rupanya sudah bisa menerima keadaannya dan sedang mencoba memulai rumah tangga yang tenang. Ini bagian yang sangat emosional, namun tetap saja Stevens mencoba berjarak. Dia kembali ke Darlington Hall, meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia masih bisa menjalani hari-hari yang tersisa dengan bermartabat, dan memikirkan cara meningkatkan kemampuan profesionalnya: Ia berniat mempelajari seni “bercanda” agar lebih sesuai dengan harapan tuan barunya.

Terlintas dalam pikiran saya bahwa bercanda bukanlah tugas mengada-ada yang diharapkan oleh majikan kepada seorang profesional. Tentu saja, saya telah mencurahkan cukup banyak waktu untuk mengembangkan keterampilan bercanda saya, tetapi mungkin dulu saya tidak pernah menjalani tugas ini dengan komitmen yang semestinya. Maka, mungkin, saat saya tiba di Darlington Hall besok—Mr. Farraday sendiri baru akan kembali sepekan lagi—saya akan mulai mempraktikkannya dengan upaya baru. Saya berharap, nantinya, bahwa pada saat majikan saya tiba, saya sudah siap untuk memberinya kejutan yang menyenangkan.

Stevens tidak mengungkapkan perasaannya setelah pertemuan dengan Miss Kenton dan kegagalan misinya untuk membawa perempuan itu kembali ke Darlington Hall. Kita tahu ia pulang dengan perasaan pahit, namun ia tetap mencurahkan perhatian pada upaya untuk menjadi kepala pelayan yang lebih baik bagi majikannya saat ini, Mr. Farraday. Ia siap menjadi profesional yang pandai bercanda.[]

---


Siapa tahu anda tertarik memperdalam pengetahuan dan kecakapan menulis, beberapa ebook panduan ini, saya yakin, akan membantu anda--tentang Menulis CerpenMenciptakan Karakter, dan Mengajarkan penulisan kepada anak-anak

Ebook menulis cerpen berisi semua materi yang saya ajarkan di kelas "Penulisan Cerpen". Begitu juga ebook "Menciptakan Karakter". Keduanya memberikan pengetahuan yang mudah dipahami dan latihan sesuai topik yang dibicarakan. Jadi, itu serupa dengan kelas mandiri.

Adapun ebook "Pelajaran Menulis untuk Siswa SD" saya tulis karena rasa cinta kepada anak-anak. Mereka perlu belajar menulis agar tumbuh lebih sehat. Sila klik di sini

 

No comments:

Post a Comment