NEGERI dengan lima juta penduduk itu, atau hanya sepertiga penduduk Jakarta pada siang hari, telah melahirkan empat penerima Nobel Sastra da...


NEGERI dengan lima juta penduduk itu, atau hanya sepertiga penduduk Jakarta pada siang hari, telah melahirkan empat penerima Nobel Sastra dan lima pemenang Booker Prize. Bintang-bintang cemerlang dari generasi ke generasi terus bermunculan sejak James Joyce, William Butler Yeats, George Bernard Shaw, Samuel Beckett, Seamus Heaney, hingga generasi berikutnya Colm Tóibín dan Sally Rooney.


Pertanyaannya, apa yang membuat Irlandia terus menumbuhkan para pengarang cerita berbakat?


Ronan McDonald, pakar Studi Irlandia di Universitas Melbourne, mengakui bahwa sastra Irlandia kontemporer sangat dihargai di seluruh dunia. “Apakah Irlandia menghasilkan lebih banyak penulis berbakat daripada negara lain ataukah penulis berbakat Irlandia mendapatkan lebih banyak perhatian internasional daripada [penulis dari] negara lain, misalnya Australia?" tanyanya.


Irlandia juga mampu memanfaatkan posisi internasionalnya dengan memasarkan diri sebagai negara sastra. Ibukotanya menjadi tuan rumah Dublin Literary Award, sebuah penghargaan dengan hadiah senilai €100.000, atau sekitar Rp1,6 miliar, salah satu hadiah sastra terbesar di dunia, dan telah menjadi Kota Sastra UNESCO sejak tahun 2010.


Pemerintah Irlandia sangat peduli terhadap sastra dan murah hati dalam memberikan dana untuk penulisan, memberikan pengurangan pajak, dan Dewan Keseniannya didanai dengan baik.


Namun, ini baru beberapa dekade terakhir. Sampai dengan paruh awal abad ke-20, Irlandia adalah negeri yang represif terhadap para pengarang. Dominasi Gereja Katolik dan sensor oleh negara melahirkan suasana yang “sangat tidak liberal dan tidak toleran bagi para penulis," kata McDonald.


Para modernis besar negeri itu, seperti James Joyce dan Samuel Beckett, pergi dari Dublin akibat kerasnya tekanan gereja dan pemerintah.


Tetapi sejak beberapa dekade terakhir Irlandia sangat memanjakan para penulisnya, merayakan karya-karya mereka, dan memberikan dukungan keuangan kepada mereka.


*


Sejarah memiliki pengaruh besar dalam sastra Irlandia. Kelaparan besar di negara ini, misalnya, menjadi momen sangat penting dalam sejarah yang mereka yang kelam. Antara 1845 dan 1852, satu juta orang meninggal karena kelaparan di Irlandia, dan satu juta orang lagi pergi keluar.


Dampak dari trauma kolektif ini terlihat dalam munculnya modernisme Irlandia sebagai gerakan seni pada akhir abad ke-19. Sejarah yang compang-camping, menurut Christopher Morash, profesor Penulisan Irlandia di Trinity College dan penulis buku Dublin: A Writer's City, menjadi alasan kuat mengapa para penulis Irlandia merespons secara antusias gerakan modernisme.


"Ada perasaan tentang masa lalu yang hilang. Dan karenanya anda harus membuat masa kini dengan cara baru," kata Morash.


Ini perasaan yang dipegang oleh penyair dan penulis Irlandia, William Butler Yeats, yang mengatakan bahwa pada 1900-an, Irlandia adalah gumpalan lilin lembut yang siap dibentuk ulang.


Saat ini, Irlandia adalah sebuah negara yang progresif secara sosial.


Gereja Katolik tidak lagi berpengaruh secara signifikan, dan penduduknya telah memberikan suara mendukung reformasi sosial yang tidak terbayangkan satu generasi sebelumnya, termasuk legalisasi pernikahan sesama jenis dan aborsi.


Masa lalu yang represif saat ini hanya ada dalam sastra, muncul dalam tema-tema kemiskinan, penyalahgunaan, dan represi sosial. Kita bisa mengatakan bahwa situasi buruk di masa lalu telah menyumbangkan sesuatu kepada para sastrawan untuk ditulis dan dilawan.


*


Faktor penting lainnya adalah bahasa. Sebagian besar penduduk Irlandia berbicara bahasa Irlandia (juga dikenal sebagai Gaelic) hingga abad ke-19. Negara ini memiliki tradisi storytelling yang kuat, yang didasarkan pada folklor yang kaya.


Louise Kennedy, penulis asal Irlandia Utara yang novel debutnya, Trespasses, memenangi Penghargaan Novel Tahun Ini di Irish Book Awards 2022, mengaitkan suara Irlandia (dan keberhasilannya di dalam tulisan) dengan Hiberno-Inggris, dialek yang merupakan bahasa asli di pulau tersebut.


"Ketika orang Irlandia kehilangan bahasa mereka sendiri, mereka tidak mendapatkan pelajaran formal bahasa Inggris, dan mereka mengaplikasikan kata-kata baru ke struktur tata bahasa Irlandia," kata Kennedy kepada Claire Nichols, pembawa acara The Book Show di ABC RN, di Adelaide Writers Festival.


"Saya pikir hal itu menambah sedikit keindahan dalam prosa atau percakapan orang-orang dari Irlandia."


Hiberno-Inggris ditandai dengan pemakaian ungkapan berwarna-warni yang terkenal dari orang-orang Irlandia.


Kehadiran bahasa Inggris menciptakan rasa gelisah dalam bidang sastra, yang pada akhirnya memberi keberanian kepada para penulis untuk bereksperimen dengan bahasa baru tersebut dan memicu gerakan modernisme.


James Joyce, misalnya, menggunakan berbagai gaya naratif dan teknik sastra untuk mewakili pikiran, suasana batin, dan pengalaman manusia secara menyeluruh. Joyce menggunakan teknik aliran kesadaran, perubahan gaya bahasa yang drastis, dan bahasa yang rumit untuk menciptakan gambaran yang kompleks dan mewakili pelbagai pengalaman manusia, dan sekaligus untuk memperlihatkan bahwa bahasa tidak memadai untuk menyampaikan kompleksitas pengalaman manusia.


Dalam eksperimennya, ia menggeledah dan memperbarui bahasa—dan juga bentuk novel. Sampai sekarang novelnya Ulysses masih dianggap sebagai salah satu novel paling inovatif yang pernah diterbitkan dalam bahasa Inggris.


*


Para penulis Irlandia saat ini beruntung membangun kesuksesan di atas keberhasilan para pendahulu.


"Pada titik tertentu, sastra melahirkan sastra berikutnya," kata Morash.


John Boyne, penulis lebih dari 20 buku, mengatakan bahwa kemampuan Irlandia untuk melahirkan penulis-penulis berbakat adalah "pencapaian diri".


"Saya tumbuh dewasa pada saat ada generasi hebat sebelum saya, orang-orang seperti Roddy Doyle dan Colm Tóibín ... yang semuanya menerbitkan buku dan sangat sukses. Buku mereka diadaptasi menjadi film dan memenangi penghargaan," katanya di Adelaide Writers Festival.


"Hal itu membuat saya merasa bahwa impian saya tidak terlalu konyol. Saya anak kecil di Dublin, dan mereka juga begitu ... Hal itu membuat generasi muda berpikir bahwa ini mungkin."


*


Salah satu perubahan sosial paling signifikan di Irlandia dalam beberapa dekade terakhir adalah transformasinya menjadi negara multikultural. Dan sastranya juga bergerak ke arah sana.


Irlandia adalah sebuah contoh di mana para penulis di suatu negara menjadi pusat dalam proses pembaruan budaya dan pembentukan identitas nasional. "Satu hal yang membuat Irlandia istimewa adalah ... para penulis telah memainkan peran kunci dalam membayangkan akan menjadi seperti apa negara ini,” kata Christopher Morash.[]

Sumber:
https://www.abc.net.au/news/2023-06-11/irish-literature-james-joyce-samuel-beckett-sally-rooney/102455738

   PADA tahap pra-penulisan, ChatGPT betul-betul sangat membantu. Ia memudahkan kita mendapatkan ide cerita, yang selanjutnya bisa kita ke...


  

PADA tahap pra-penulisan, ChatGPT betul-betul sangat membantu. Ia memudahkan kita mendapatkan ide cerita, yang selanjutnya bisa kita kembangkan menjadi cerita. 


Misalkan saya ingin menulis cerita pendek Thriller Politik, tema yang sangat jarang disentuh oleh penulis kita, saya bisa mendapatkannya hanya dalam beberapa menit.

 

Sebagai contoh, saya memasukkan prompt ini:

 

"Buatlah sebuah premis untuk cerita pendek thriller politik yang mencakup karakter utama lelaki bernama Subagyo, seorang walikota yang merasa bersalah telah mengkhianati pemilihnya dengan mengutamakan kepentingan keluarga, konflik internal dan eksternal, latar, taruhan emosional, serta batasan waktu yang mendesak."

 

ChatGPT

Judul: "Dalam Bayangan Pengkhianatan"

 

Premis:

Subagyo, seorang lelaki yang terhormat dan sukses, telah menjadi walikota selama bertahun-tahun. Namun, di balik kesuksesannya, ia menyimpan rasa bersalah yang tak terbendung. Dalam perjalanannya sebagai walikota, Subagyo secara tidak sengaja mengkhianati pemilihnya dan mengutamakan kepentingan keluarganya sendiri.

 

Konflik internal Subagyo semakin memuncak ketika dia menyadari bahwa tindakan-tindakan egoisnya berdampak besar pada masyarakat dan mengecewakan orang-orang yang mempercayainya. Rasa bersalah ini membuatnya merenungkan arti sebenarnya dari tanggung jawab publik dan bagaimana kekuasaannya seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat.

 

Sementara Subagyo berjuang dengan konflik internalnya, konflik eksternal yang tak terduga muncul. Sebuah skandal politik yang melibatkan pejabat tinggi pemerintahan mengancam kestabilan kota. Subagyo mengetahui bahwa skandal ini berkaitan erat dengan keluarganya sendiri, yang secara tidak langsung memperburuk rasa bersalahnya.

 

Dalam upaya untuk memperbaiki kesalahannya dan mengatasi konflik eksternal, Subagyo menyadari bahwa batasan waktu yang mendesak mencekiknya. Dia hanya memiliki waktu terbatas untuk menemukan bukti yang menghubungkan skandal dengan keluarganya dan mengambil tindakan yang tepat untuk menghentikan krisis politik yang semakin parah. Taruhan emosionalnya semakin tinggi dengan setiap langkah yang diambilnya, karena bahkan jika berhasil, keputusan-keputusannya bisa menghancurkan hubungan pribadi dan reputasinya.

 

Dalam kisah pendek thriller politik ini, Subagyo harus melawan batasan waktu yang mendesak sambil menyelesaikan konflik internal dan eksternalnya. Apakah dia dapat memperbaiki kesalahannya, mengungkap kebenaran, dan memperoleh kembali kepercayaan rakyat? Atau apakah rasa bersalahnya dan taruhan emosionalnya akan menghancurkan dirinya sendiri dan kota yang dipimpinnya?

 

*

 

Selanjutnya, saya mengajukan prompt ini:

 

"Kembangkanlah sebuah kerangka cerpen di atas secara detail, yang mencakup poin-poin plot utama, perjalanan karakter, keputusan yang fatal, dan titik-titik kunci dalam cerita, dan akhir yang tragis bagi protagonis yang semula menjadi harapan orang banyak, dengan setting memikat."


ChatGPT

Judul: "Dalam Bayangan Pengkhianatan"

 

Kerangka Cerpen:

 

I. Pengenalan:

·        Subagyo, seorang walikota yang sukses dan dihormati, telah lama memimpin kota dengan integritas dan kejujuran.

·        Namun, rasa bersalah menghantuinya karena telah mengkhianati pemilihnya dengan mengutamakan kepentingan keluarganya sendiri.

·        Subagyo merenungkan konflik internalnya dan berusaha mencari cara untuk memperbaiki kesalahannya.

 

II. Konflik Eksternal:

·        Subagyo mengetahui tentang sebuah skandal politik yang melibatkan pejabat tinggi pemerintahan.

·        Skandal ini secara tidak langsung terkait dengan keluarganya, yang membuat rasa bersalahnya semakin memburuk.

·        Subagyo menyadari bahwa skandal tersebut dapat mengancam stabilitas kota dan reputasinya sebagai walikota.

 

III. Perjalanan Karakter:

·        Subagyo memutuskan untuk mengungkap kebenaran di balik skandal politik tersebut.

·        Dia mulai menyelidiki dan mencari bukti yang dapat menghubungkan skandal dengan keluarganya.

·        Perjalanan ini memaksa Subagyo untuk berhadapan dengan dilema moral dan membuat keputusan yang sulit.

 

IV. Keputusan yang Fatal:

·        Subagyo menemukan bukti yang menunjukkan keterlibatan keluarganya dalam skandal tersebut.

·        Dia berada di persimpangan jalan antara melindungi keluarganya atau mengungkap kebenaran kepada publik.

·        Dalam keputusasaan dan takut kehilangan segalanya, Subagyo membuat keputusan yang fatal dengan memilih untuk melindungi keluarganya.

 

V. Puncak Konflik:

·        Keputusan Subagyo yang fatal membawa konsekuensi yang tak terduga dan memperburuk krisis politik di kota.

·        Dia menyadari bahwa keputusannya telah menghancurkan reputasinya dan kepercayaan publik padanya.

·        Subagyo merasa terjebak dalam jaring labirin kebohongan yang semakin rumit.

 

VI. Titik Balik:

·        Subagyo mencapai titik terendah dan menyadari bahwa dia harus menghadapi konsekuensi dari keputusannya.

·        Dia menyadari bahwa ia telah kehilangan segalanya yang membuatnya seorang walikota yang dihormati dan harapan orang banyak.

·        Dalam kesedihan dan penyesalan, Subagyo menyadari bahwa tidak ada jalan kembali dan bahwa dia harus menerima akibat dari pengkhianatan yang dilakukannya.

 

VII. Klimaks dan Akhir yang Tragis:

·        Subagyo secara sukarela mengundurkan diri sebagai walikota, mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada rakyat.

·        Namun, kepercayaan publik tidak dapat dipulihkan, dan Subagyo terpaksa menghadapi hinaan dan penghinaan yang mendalam dari masyarakat yang dulu mempercayainya.

·        Cerita berakhir dengan Subagyo yang terpuruk dan hidup dalam bayangan pengkhianatan yang merusak reputasinya dan harapan orang banyak, menghadapi masa depan yang suram dan tragis.

 

VIII. Epilog:

·        Epilog menyoroti bagaimana keputusan fatal Subagyo telah merusak kehidupannya dan membawa akhir yang tragis bagi seorang protagonis yang semula menjadi harapan orang banyak.

·        Melalui kisah ini, pembaca diingatkan akan konsekuensi berat dari pengkhianatan dan pentingnya menjaga integritas dan kejujuran dalam kepemimpinan politik.

 

*

 

Sekiranya anda merasa cukup dengan kerangka itu, anda bisa mengerjakan penulisannya. Atau jika anda merasa perlu membuat beberapa perubahan dalam kerangka itu, anda bisa menyesuaikan kerangka itu sesuai yang anda inginkan. Yang jelas, sekarang anda punya kerangka cerita.[]


CERPEN selalu menyenangkan karena ia memberi peluang untuk bereksperimen dengan berbagai bentuk dan gaya penulisan tanpa anda harus menguras...


CERPEN selalu menyenangkan karena ia memberi peluang untuk bereksperimen dengan berbagai bentuk dan gaya penulisan tanpa anda harus menguras banyak energi dan meluangkan waktu penulisan yang panjang. Anda dapat mencoba gaya penulisan yang lebih deskriptif atau lebih dialogis, gaya narasi klasik atau eksperimental, atau bereksperimen dengan plot dan struktur cerita. Anda bisa mencoba gaya narasi non-linear, struktur cerita yang belum pernah anda kerjakan, atau bermain-main dengan Point of Vew dan suara narator.


Anda bisa menjelajahi berbagai tema dan mencoba berbagai teknik sastra, atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis melalui cerita yang padat dan berfokus pada satu momen dalam kehidupan karakter utama. Cerpen memungkinkan anda mengeksplorasi berbagai gaya penulisan eksperimental yang mungkin akan sangat menguras energi jika dilakukan dengan novel atau bentuk penceritaan yang lebih panjang.


*


Dari sisi pembelajaran, percobaan-percobaan semacam ini penting bagi anda untuk menetapkan suara penulis anda sendiri, memahami kecenderungan naratif dan preferensi literer anda. Melalui eksplorasi dan percobaan, anda dapat menemukan bagaimana cara terbaik untuk mengekspresikan diri dan menyampaikan cerita dalam cara paling otentik.


Karena cakupannya yang lebih kecil, hanya memerlukan waktu pembacaan yang sangat singkat, penulis dapat segera melihat respons pembaca dan mengevaluasi keberhasilan percobaan yang ia lakukan. Jika hasil percobaannya tidak sesuai ekspektasi, anda dapat segera mengidentifikasi kesalahan atau area yang perlu diperbaiki. Hal ini memungkinkan anda untuk terus mengasah kemampuan dan mencoba pendekatan yang berbeda.


Dalam penulisan cerpen, seorang penulis dapat melatih berbagai aspek keterampilan penulisan seperti pengembangan karakter, alur cerita, penggunaan bahasa, dan pembangunan suasana. Dengan berbagai percobaan tersebut ia bisa menerapkan pengetahuan yang didapatkannya sepanjang pembelajaran, dari berbagai referensi, dan dari karya-karya penulis lain yang ia baca.


*


Karena bentuknya yang ringkas, cerpen bisa saja anda perlakukan sebagai sarana untuk berlatih menulis cerita yang lebih panjang, tetapi sesungguhnya cerpen adalah bentuk tersendiri yang memerlukan penanganan berbeda dibandingkan novel. Dalam pengembangan karakter, misalnya, perbedaan skala, ruang, dan durasi cerita antara cerpen dan novel memerlukan teknik penyajian yang berbeda pula.


Dalam novel, penulis memiliki lebih banyak ruang untuk mengembangkan karakter secara mendalam. Mereka dapat lebih rinci menjelajahi latar belakang, motivasi, perkembangan, dan kompleksitas emosional karakter. Dalam cerpen, penulis harus memilih aspek-aspek karakterisasi yang paling penting atau paling relevan berkaitan dengan momen spesifik yang menjadi pusat cerita.


Perubahan karakter dalam cerpen juga cenderung berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan progresi karakter di dalam novel. Anda harus menangani perubahan cepat ini dan menjadikannya tetap masuk akal.


Keringkasan cerpen juga mensyaratkan penggunaan detail dan deskripsi yang lebih selektif, lebih padat, sambil tetap mengupayakan kedalaman.


*


Satu hal lagi yang sangat menarik dengan cerpen: Ia memungkinkan kita mengerjakan secepatnya ide-ide baru. Kita dapat dengan cepat mencoba berbagai ide cerita yang mungkin tak terpikirkan sebelumnya.


Cerpen terakhir yang saya tulis, Dalam Hujan, adalah percobaan ringan ketika tiba-tiba terlintas ide untuk membuat cerita pendek satu adegan. Ada banyak penulis yang sudah melakukannya. James Joyce menulis Eveline dalam bentuk satu adegan, Hemingway menulis beberapa dan salah satunya adalah Hills Like White Elephants, Anton Chekhov menulis A Daughter of Albion. Jorge Luis Borges, Kate Chopin, Guy de Maupassant, dan banyak lagi melakukannya.


Ini memberikan tantangan yang berbeda dalam karakterisasi, penataan alur, pemilihan detail, dan penulisan dialog. Dan terutama anda harus memikirkan sebuah cerita yang selesai dalam satu adegan.[]

MEREKA hanya sebentar di kedai kopi itu, sebuah tempat di kota lama yang menawarkan ketuaan dan nostalgia dan pemandangan bangunan-bangunan ...


MEREKA hanya sebentar di kedai kopi itu, sebuah tempat di kota lama yang menawarkan ketuaan dan nostalgia dan pemandangan bangunan-bangunan kolonial yang masih berdiri tegak, seperti jajaran soldadu tua yang masih ingin berarti, seperti matahari senja yang menolak terbenam, dan kedai itu sendiri menempati bangunan kolonial dengan dinding-dinding putih tebal dan jendela-jendela tinggi berbingkai kayu coklat tua dan tiang-tiang hijau dan lampu gantung bercahaya lembut; itu tempat bercakap-cakap yang menyenangkan sebetulnya, tempat yang tenang dan harum kopi di hari hujan, tetapi Muti merasa tidak nyaman ketika beberapa remaja masuk dan ia tahu salah satunya.

Muti menyeruput kopinya dan memberi tahu Damar, dalam suara rendah, bahwa anak yang berkaus krem itu teman adiknya.

“Yang duduk membelakangi kita,” katanya.

Damar menoleh, memandangi sebentar anak berkaus krem yang duduk di meja sudut bersama tiga temannya.

“Kita pergi saja kalau kamu tidak nyaman,” kata Damar.

“Dia tadi sempat memandang kemari saat di pintu masuk, entah dia melihatku atau tidak. Mudah-mudahan tidak.”

Sekarang mereka berdua menembus hujan. Muti di belakang kemudi, membawa mobilnya bergerak lambat menyusuri jalanan bergelombang di antara gedung-gedung tua, meninggalkan kawasan itu setelah beberapa kelokan.

“Ke mana kita?”

“Tidak tahu. Kamu yang punya kota ini.”

“Aku tidak tahu juga. Aku cuma ingin keluar dari tempat itu ketimbang dia melihatku.”

“Kita pikirkan sambil jalan saja kalau begitu.”

Jalanan mengabur oleh hujan dan suara Doris Day mengalun sedih bersama suara hujan yang mengetuk-ngetuk atap mobil. Muti ikut bernyanyi: “Fly me to the moon and let me play among the stars….” Gadis itu mengatakan bahwa ia lebih menyukai versi Doris Day ketimbang Frank Sinatra. Damar hanyut dalam lamunannya sendiri, merasa bahwa itu suara hati yang ditujukan kepadanya, tetapi gerakan wiper di kaca depan tampak seperti gerak tangan yang mencegahnya.

“Tahu apa yang kupikirkan tadi malam, Dam?”

Damar mengangkat bahu dan segera menyusulinya dengan “Apa?” ketika menyadari bahwa Muti tidak melihat gerak bahunya.

“Aku benci kita ketemu. Aku betul-betul benci kita ketemu.”

“Dua hari lagi aku pulang. Kamu tidak akan membenciku lagi.”

“Bukan membenci kamu. Aku benci kita harus ketemu lagi sekarang. Seharusnya aku tidak ikut menemuimu, seharusnya Mikael tidak membawaku—"

“Ya. Kupikir seharusnya begitu.”

“Kamu juga tidak suka kita ketemu?”

“Aku senang kita ketemu—”

“Tapi?”

Damar menggeleng. “Tidak ada tapi.”

“Sebetulnya aku juga senang. Ah, pikiranku kacau. Aku cuma sulit membayangkan bagaimana jika Mikael tahu soal ini. Bagaimana menurutmu jika Mikael tahu? Kalian teman baik sejak kecil.”

Ya, Mikael Kurniawan teman baik. Damar menutup mata sejenak dan menyandarkan kepalanya. Pertanyaan seperti itu juga yang mulai mendera pikirannya. Mereka berciuman di mobil kemarin ketika Muti mengantarnya pulang ke hotel, hanya ciuman singkat, hanya beberapa detik bibir mereka bersentuhan, dan ia turun dari mobil dengan rasa gembira yang meluap-luap dan berjalan ke pintu lift dengan langkah ringan. Baru ketika tiba di kamarnya di lantai tiga, ia merasakan kepalanya rusuh dan matanya menolak tidur hingga dinihari.

Tiap sebentar ia memeriksa ponselnya, melihat apakah ada pesan masuk dari Muti. Tidak ada. Ia sempat menulis pesan selamat tidur dan membaca pesan itu berulang kali dan menjadi ragu mengirimkannya. Dihapusnya lagi pesan itu dan ia masih terus memeriksa ponselnya berulang-ulang. Tetap tidak ada pesan masuk dari Muti.

Di kamarnya ia hanya bolak-balik merebahkan tubuh di tempat tidur dan berdiri di tepi jendela. Satu kali ia melihat dirinya di cermin dan mendapati wajah seseorang yang berkhianat. Ia benci melihat wajahnya sendiri. Ia dan Mikael tak terpisahkan semasa kanak-kanak dan mereka tak menyembunyikan rahasia satu sama lain dan sekarang ia menyembunyikan rahasia.

Mungkin ia perlu mempercepat kepulangannya, pulang begitu saja tanpa memberi tahu mereka, dan urusannya dengan Muti akan selesai sebelum menjadi berlarut-larut. Ia akan meminta maaf dalam hati kepada Mikael karena sudah  mengkhianatinya. Ia akan meminta maaf, dalam hati juga, kepada Muti karena telah mengacaukan perasaannya. Tapi, bagaimana jika ini cinta sejati? Bagaimana jika Muti memang jodohnya, perempuan yang harus ia perjuangkan, dengan cara apa pun, untuk menjadi pasangan hidupnya?

Dengan cara apa pun—itu berarti ia harus menghadapi Mikael dan ia harus melakukannya. Ia akan menjadi lelaki yang keji jika meninggalkan Muti begitu saja dan membiarkannya menikah dengan lelaki yang bukan jodohnya. Tentu rumah tangga mereka akan mengerikan. Muti tidak akan bahagia; Mikael mungkin akan menjadi suami yang menyedihkan dan mungkin suami yang kasar. Ia kenal Mikael. Ia tahu bahwa Mikael kadang kasar, senang menilai orang lain secara sembarangan, dan tidak begitu pintar. Mereka menjadi teman dekat hanya karena…

Damar menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti mengibaskan semua yang baru saja ia pikirkan. Mikael Kurniawan teman yang baik. Titik. Tidak perlu ia mencari-cari keburukan Mikael hanya untuk membenarkan hubungannya dengan Muti, bahkan kalaupun Muti jodohnya. Mungkin ia harus bicara baik-baik dengan Mikael, menyampaikan secara jujur apa yang sedang terjadi di antara mereka, dan memberi tahu Mikael bahwa Muti kemungkinan besar adalah jodohnya, bahwa ia dan Muti seperti halnya matahari dan bulan, yang satu memancarkan kehangatan dan yang lainnya memancarkan kelembutan. Kejujuran akan menjadi hal yang layak bagi persahabatan mereka. Memang tidak akan ada jalan mudah untuk situasi seperti ini, tetapi ia pikir semuanya harus diselesaikan dengan cara yang benar, demi persahabatan, dan agar mereka bisa melanjutkan hidup dengan kepala tegak.

Namun ia segera menghapus pikiran naif tentang pembicaraan baik-baik itu. Ia akan terdengar seperti orang gila jika tiba-tiba menemui Mikael dan mengatakan: “Mikael, aku dan Muti saling jatuh cinta. Kuharap kamu memahami situasi kami dan ikhlas membiarkan kami melanjutkan hubungan kami.” Bagaimana ia bisa menyampaikan kalimat seperti itu? Katakanlah ia bisa menyampaikannya secara lebih halus dan melingkar-lingkar, tetapi intinya tetap itu. Dan akan lebih gila lagi jika ia berharap Mikael menyambutnya baik-baik: “Aku paham sepenuhnya, Dam. Silakan kalian melanjutkan hubungan kalian, dan kita tetap bersahabat.”

Entah pukul berapa ia tertidur. Ia hanya tertidur begitu saja dan membuka mata karena ponselnya berdering membangunkannya dari tidur yang tak lelap. Muti mengatakan baru bisa datang nanti sore karena ada janji makan siang dengan seorang penulis: Agak rewel orangnya, tetapi buku-bukunya laris dan direktur penerbitan kami akan ngamuk jika ia sampai menerbitkan buku di tempat lain.

Aku tunggu di hotel saja,” kata Damar.

Oke, sore kujemput,” kata Muti. “Kita ke kedai kopi di kota lama.”

Itu akan menjadi waktu terakhirnya untuk bercakap-cakap berdua dengan Muti. Mikael pulang besok; dan ia meninggalkan Semarang lusa. Sampai jumpa Mikael, sampai jumpa Muti. Dan urusan berakhir dengan sendirinya. Dan keadaan kembali seperti semula. Itu juga penyelesaian yang baik. Ia tidak datang ke Semarang untuk merebut Muti dari Mikael; ia hanya kangen kepada kota kelahirannya, yang ia tinggalkan tiga belas tahun lalu pada usia empat belas karena ayahnya pindah tugas ke Maluku. Dan ia punya waktu libur sepekan untuk melakukannya.

Ia memberi tahu Mikael Kurniawan, kawan masa kanak-kanaknya yang tidak pernah meninggalkan kota kelahiran, bahwa ia akan ke Semarang. Dan Mikael menyambutnya dengan pelukan kuat di pintu kedatangan bandara pada hari ia mendarat.

“Ini Muti, Dam. Masih ingat?”

Alisnya bagus. Wajahnya sejuk. Damar tidak pernah membayangkan Muti akan secantik ini. Ia ingat ia dan Mikael berjongkok pagi-pagi di gerumbul dekat tikungan jalan setapak menuju pancuran, menunggu anak-anak perempuan mengambil air. Matahari belum terbit. Mereka membungkus diri rapat-rapat dengan kain sarung dan berdiri tiba-tiba ketika anak-anak perempuan itu sudah dekat. Tiga anak lari lintang pukang sambil menjerit-jerit dan Muti, yang paling kecil di antara mereka, berjongkok menangis. Malamnya ia dan Mikael dihukum tidur di luar tenda. Sekarang ia melihat cincin pertunangan di jari kelingking mereka.

“Awas kalau kamu buat dia menangis lagi,” kata Mikael. “Kucekik kamu.”

“Hei, bukan cuma aku yang membuat dia menangis.”

“Kalian berdua memang menyebalkan,” kata Muti.

Suaranya terdengar menenteramkan.

Hari itu juga mereka keluar makan malam bertiga dan berkeliling hingga larut dan keesokan paginya, ketika Damar sedang merokok di balkon depan kamar, Mikael menelepon dan menyampaikan, dengan nada uring-uringan, bahwa kantornya menugasi dia ke Kalimantan, sedikitnya lima hari, mengawal pemasangan panel surya untuk pelanggan di sana dan memberi supervisi.

“Jadi buat apa aku kemari?”

Itu dia! Si Nurdin ini brengsek betul, kakinya terkilir tadi malam dan aku yang harus menggantikannya berangkat. Liburanmu tidak bisa diperpanjang barang tiga hari, Dam?

Hujan tidak menderas dan tidak juga mereda dan sekarang sudah hampir setengah satu. Sudah empat jam lebih sejak meninggalkan kedai kopi, mereka hanya berkeliling-keliling menyusuri jalanan basah dan genangan-genangan air, dan sudah beberapa kali mengitari Simpang Lima. Damar memandangi Muti dengan kecamuk di kepala, dan kemudian mengalihkan pandangan ke kiri, memandangi batang-batang pohon di tepi jalan dan pagar-pagar bangunan. Tetes-tetes hujan meluncur pelahan di kaca jendela, seperti air mata yang mengalir pelan-pelan di pipi, dan lampu-lampu jalan berpendar dalam hujan.

Lalu ia kembali memandangi Muti dan di kepalanya tiba-tiba terlintas pikiran tolol untuk menculik gadis itu; itu pikiran yang lahir dari rasa murung dan putus asa bahwa waktu mereka sebentar lagi habis. Ia ingin membawa lari Muti sejauh-jauhnya saat itu juga, lari ke padang luas, menjadi sepasang rusa yang menumpahkan cinta sepenuhnya dengan perasaan lepas.

“Kamu tahu apa yang kupikirkan sekarang, Dam?”

“Kamu benci kita ketemu?”

“Bukan itu. Aku ingin menculikmu.”

“Kalau begitu lakukanlah. Atau aku yang melakukannya? Barusan aku juga berpikir menculikmu, membawamu ke tempat jauh, sejauh mungkin, ke tempat yang tidak seorang pun mengenal kita.”

Pukul dua mereka berpelukan di dalam mobil, sangat lama, di tempat parkir lantai bawah hotel tempat Damar menginap.

“Kamu akan kembali lagi kemari, kan? Katakan, Damar, katakan kamu akan kembali lagi kemari.”

“Ya, aku akan kemari lagi.”

Muti melepaskan pelukan.

“Kamu tidak akan kemari lagi. Aku merasa kamu tidak akan pernah kemari lagi.”

“Aku janji.”

Ia menggeleng. Matanya yang basah memandang jauh ke arah kosong.

“Kamu tidak perlu kemari lagi.”

Diraihnya tangan Damar; dilekatkannya tangan itu ke dadanya, tepat di ulu hati.

“Aku menyimpanmu di sini. Mungkin ini pertemuan terakhir kita. Aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu menyimpanmu di sini.”

Damar merasakan debar jantung gadis itu, seperti laut yang bergolak; ia merasakan cincin di jari manis gadis itu, laut di dalam dadanya bergolak.

“Apakah kamu akan selalu mengingatku?”

“Selalu mengingatmu.”

“Janji?”

“Janji.”

“Selamanya mengingatku?”

“Selamanya.”

Ia merasa pedih ketika Damar turun dari mobil; ia berpikir untuk turun juga, lalu naik berdua ke kamarnya, dan menghabiskan waktu terakhir yang mereka punya. Mikael baru akan tiba tengah hari nanti; mereka punya waktu beberapa jam. Tetapi ia mencegah diri sekuat-kuatnya. Ia tahu ia tidak akan sanggup bertahan jika ia sampai masuk ke kamar Damar.

Hari itu ia tidak masuk kantor dan mengatakan sakit kepala ketika Mikael menjemputnya untuk makan malam bersama Damar. Ia memang merasa kepalanya sakit, dan makin sakit ketika besoknya Mikael menjemput lagi untuk mengantarkan Damar ke bandara. Dari teras rumah ia melihat mobil Mikael di depan sana di tepi jalan dan Damar ada di dalamnya, menghadap ke depan. Jangan menoleh, Damar, jangan menoleh, aku akan mati jika mata kita bertemu.

Sesungguhnya ia ingin mengantarnya ke bandara, ia ingin pergi bersamanya, tapi ia menahan diri sekuat-kuatnya. Ia hanya sedikit menggerakkan tangan ketika mobil berjalan.

Lalu ia kembali ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang dan matanya tiap sebentar memeriksa ponsel, tiap sebentar memandangi jam dinding. Dua jam lagi Damar akan terbang, tetapi ia berjanji akan kemari lagi.[]

SUJARWO SUMARSONO, dokter gigi 41 tahun, tiba di lobi gedung kesenian setengah jam sebelum konser piano dimulai . Ia menyelinap di antara g...


SUJARWO SUMARSONO, dokter gigi 41 tahun, tiba di lobi gedung kesenian setengah jam sebelum konser piano dimulai. Ia menyelinap di antara gerumbul orang-orang dan dengung percakapan, menghindar dari orang-orang yang ia hanya kenal-kenal anjing, bersenggolan bahu dengan lelaki yang melangkah buru-buru di tengah orang ramai, kelihatannya ia panitia konser, dan berhenti di satu sudut ruangan yang dipenuhi poster. Ia sedang memandangi poster-poster itu ketika sebuah suara menyapanya, lembut dan sopan:

"Dokter Sujarwo?"

Ia menoleh ke kanan dan menemukan, tepat di depan matanya, sebuah puisi: Seorang perempuan bergaun biru gelap, dengan helai-helai rambut kemerahan, berdiri sedikit canggung seolah menyesal bahwa ia baru saja melakukan perbuatan kurang pantas, tetapi warna merah pada bibirnya dan harum parfumnya seperti minta diperhatikan. Sujarwo tidak mengenalnya.

"Anda--"

"Tantri. Suami saya pasien anda sejak tiga tahun lalu. Saya pernah mengantarnya ke klinik anda satu kali."

Ia mencoba mengingat-ingat.

"Rasanya saya pernah mendengar suara anda. Kita pernah bercakap-cakap?"

"Lewat telepon. Saya yang selalu membuat janji untuk suami saya, namanya Ardian."

"Ah, ya, ya, saya beruntung bisa bertemu langsung dengan pemilik suara."

"Dokter sendirian?"

"Saya pikir begitu, tetapi rupanya takdir tidak membiarkan saya sendirian malam ini."

Tantri tersenyum dan buru-buru menunduk. Ia terlihat mirip Santi pada saat tersenyum dan menunduk; semua perempuan yang memikat selalu terlihat seperti Santi.

Malam itu mereka duduk bersebelahan, dalam ruangan yang AC-nya terlalu dingin dan lampu-lampunya dipadamkan dan cahaya hanya datang dari sorot lampu yang menerangi pianis di panggung. Tangan mereka beberapa kali bersentuhan dalam gerak seperti tidak sengaja dan hari-hari selanjutnya mereka saling bertukar pesan. Sesekali mereka bertemu jika Tantri bisa keluar rumah. Dan Sujarwo menjadi rajin becermin, menyisir rambut dengan jari-jari tangan, menggumamkan lagu-lagu, dan tiga bulan kemudian merasakan siksaan yang sudah sangat ia kenali: Ia ingin bertemu Tantri setiap hari dan Tantri menyatakan “Sama, Sayangku,” tetapi perempuan itu tidak bisa keluar rumah sewaktu-waktu. Ia seorang istri, dan ia seorang ibu.

 

Itu siksaan yang berulang-ulang ia alami, dimulai dengan Santi, cinta pertamanya, mahasiswa sejarah yang tampak kebingungan ketika ia menciumnya di lorong perpustakaan. Ia gagal memilikinya meskipun mereka bergandeng tangan ke mana-mana dan gadis itu sudah tidak kebingungan lagi saat dicium, sebab Santi ditangisi ibunya. Dayu Kamala tidak bisa menerima Sujarwo sebagai menantu; ia tidak mau putrinya terlempar menjadi sudra.

Mereka bertemu lagi dua tahun setelah Santi menikah. Ia ke Jakarta setelah lulus kuliah, Santi ke Jakarta mengikuti suaminya, dan perempuan itu suatu hari mengirim pesan “apa kabar?” dan mereka berjanji bertemu pada Rabu siang di toko buku. Santi tiba sore hari dan meminta maaf karena baru bisa keluar rumah setelah pukul tiga. “Suamiku tidak ke kantor hari ini,” katanya. “Ia harus ke luar kota dan baru berangkat tadi pukul tiga.”

Ia pernah mendengar bahwa bertemu cinta pertama sama dengan pulang ke rumah yang dirindukan, dan itu betul. Di tangga masuk toko buku sore itu, saat ia melihat Santi, seketika itu ia merasa pulang ke rumah yang pintunya selalu terbuka untuk ia masuki. Dan sebetulnya ia tidak hanya melihat rumah, ia juga melihat matahari terbit di tangga itu dan langit kembali cerah setelah dua tahun kegelapan dan bunga-bunga bermekaran. Itu kali pertama ia mencintai perempuan bersuami, dan ia menikmati.

O, Santi, Santi, Santi. Namanya terdengar seperti mantra ketika diucapkan berulang-ulang dan ia sudah merasa mereka cocok: Sujarwo-Santi atau Santi-Sujarwo. Duo S. Ia menikmati percakapan-percakapan tentang buku dengan gadis itu, berbagi minat yang sama pada musik dan sastra, dan menertawakan apa saja. Ia merasa itu kisah cinta yang sempurna, dan ia tidak pernah memikirkan perempuan selain Santi. Pada perjumpaan kedua, ia bahkan mendapatkan kebahagiaan yang lebih sempurna: Ia merasa dirinya lelaki bermartabat ketika mendengar Santi menceritakan suaminya yang kaku dan membosankan dan tidak pernah membaca novel.

“Kurasa itu yang membuat bunyi dengkurnya keras sekali,” kata Santi.

“Betul,” katanya. “Orang yang tidak baca novel pasti mendengkur keras sekali. Dari dulu memang begitu.”

Tetapi umur percintaan kedua ini hanya empat bulan. Santi tidak menolak ketika si tukang dengkur membawanya ke Peru, dan Sujarwo kehilangan rumah untuk pulang. Setelah itu, dalam setahun ia dua kali berpacaran, dua-duanya dengan perempuan bersuami, mengulangi kegembiraan dan kepedihan yang sama dengan yang ia alami dengan Santi.

Tantri perempuan kedelapan yang menjadi kekasihnya. Ia sudah tahu bahwa setiap hubungan yang ia bangun adalah sia-sia dan hanya memberinya rasa sakit yang berulang-ulang, tetapi ia telanjur memiliki kecocokan batin dengan perempuan-perempuan bersuami. Ia suka menyimak para perempuan itu menceritakan ketidakbahagiaan mereka dengan suami masing-masing. Ia pernah dua kali mencoba dekat dengan gadis lajang, tetapi Nunik, adik dokter gigi Santosa, dan Wina, perawat yang pernah bekerja di kliniknya, gadis yang terdengar lembut ketika bicara tetapi selalu mengagetkan saat tertawa, tidak memberinya kegembiraan yang ia dapatkan dari perempuan bersuami. Dengan para istri yang tidak puas dalam pernikahan mereka, ia bisa menjadi lelaki yang penuh perhatian dan pemberi kehangatan. Pendeknya, wujud kesempurnaan yang mereka idamkan. Ia seperti tahu begitu saja bahwa para istri yang tidak bahagia biasanya mendambakan telinga yang sabar untuk mendengarkan dan kepala yang mengangguk -angguk penuh perasaan untuk memahami kerumitan mereka.

 

Hujan deras dan angin kencang di luar, dan jalanan tergenang. Hanya kanak-kanak yang sanggup menembus angin dan hujan dan menikmati genangan. Tawa mereka menyatu dengan suara angin dan hujan. Sujarwo memandangi mereka dari balik kaca jendela, dengan kepahitan terus meningkat dan harapan nyaris nol, dan suara Tantri di belakangnya membuat kepalanya berkabut.

“Jadi pulang lusa, Mas?” Telepon genggamnya di telinga kanan. “Oya? Tidak apa-apa, lain kali saja. Yang penting pesanan Aria sudah didapat. Sudah, sudah, aku sudah menelepon klinik. Ya, Rabu malam pekan depan.”

Sujarwo meninggalkan jendela, menyeruput secangkir teh dingin di meja, memperhatikan setiap detail rasa pahit yang memenuhi mulutnya, duduk di depan pianonya, menumpahkan campur aduk perasaan pada deretan putih hitam di hadapannya. Ini pelarian terakhirnya dari kesia-siaan dan hubungan yang semakin terasa menyiksa.

Tantri menjauh sambil terus bicara, menghindari suara piano yang menghentak-hentak, dan beberapa waktu kemudian Sujarwo merasakan tubuh perempuan itu di punggungnya, dan dua lengan halus melingkari lehernya.

“Kamu marah aku menerima teleponnya?”

Ia terus memainkan pianonya. Tantri melingkarkan lengannya makin kuat.

“Kamu marah?” Tantri mengulangi.

Ia menyudahi permainannya; tangannya mencoba melepaskan lengan Tantri yang melingkari lehernya. Tantri mengetatkan pelukan.

“Kurasa sudah waktunya kita menyudahi ini,” kata Sujarwo.

“Aku mau berlanjut.”

“Aku juga, tapi bagaimanapun kita harus mempertimbangkan konsekuensinya.”

“Konsekuensi? Setelah sembilan bulan kita menjalaninya?”

“Kamu punya suami—”

“Ya, dan kamu sudah tahu itu sejak awal.”

“Kita tidak bisa terus bermain api.”

“Kamu pasti marah karena aku menerima telepon dia, kan?”

“Tidak.”

“Jadi? Kamu mau menyudahi begitu saja?”

“Demi kebaikan kita bersama.”

“Aku cuma memerlukan kebaikan seperti ini, memelukmu begini semalaman.”

“Tantri, dengar. Ini demi kebaikan kita bersama.”

“Menurutmu rumah tanggaku dengan dia itu kebaikan bersama?”

 

Anna masuk menyodorkan berkas dan memberi tahu bahwa pasien terakhir akan tiba pukul setengah sepuluh. Sujarwo berhenti menulis dan mengatakan kepada perawat kliniknya itu bahwa ia boleh pulang begitu pasien datang. “Cuma kontrol rutin,” katanya. “Tidak apa-apa aku sendirian.”

Ia melanjutkan menulis ketika Anna meninggalkan ruangan.

"Tantri, aku harus membuat keputusan yang tak pernah ada dalam pikiranku. Ini bukan hanya tentang diriku, tetapi juga tentang tanggung jawabku sebagai dokter gigi. Aku harus menyampaikan ini kepadamu, dengan berat hati, dan kita harus menemukan jalan keluar dari situasi ini. Maafkan aku, tetapi aku tidak melihat jalan lain yang lebih baik bagi kita.”

Ia membaca surat pendek itu berulang-ulang. Terdengar seperti pernyataan seorang pengecut. Tanggung jawab sebagai dokter gigi? Apa maksudnya? Itu kalimat terburuk yang pernah ia baca. Dengan perasaan benci kepada dirinya sendiri, Sujarwo merobek surat itu dan membuang robekan kecil-kecilnya ke tempat sampah dan kemudian membaca berkas pasien yang barusan diberikan kepadanya oleh Anna.

Pukul setengah sepuluh. Beberapa menit kemudian pintu ruangan terbuka pelahan dan Ardian, pasien terakhir hari itu, memasuki ruangan. Ia terlihat besar dan bodoh di mata Sujarwo.

“Sehat, Pak Ardian?”

“Sehat, Dok, sangat sehat. Cuma saya merasa takut malam ini.”

“Anda sudah berulang kali kemari.”

“Entahlah. Muncul begitu saja. Dokter tahu istri saya?”

“Ya, dia yang selalu membuatkan janji untuk anda.”

“Betul.”

“Kenapa, Pak Ardian?”

Ia merasa suaranya sedikit bergetar ketika menanyakan kenapa.

“Dia terlihat pucat ketika saya berangkat kemari, seolah-olah saya akan mati karena perawatan gigi.”

Ini kunjungan pertama Ardian sejak ia dekat dengan Tantri. Apa maksud dia menceritakan istrinya? Ia tidak pernah banyak bicara sebelumnya. Sujarwo merasakan kecemasan yang merambat pelan-pelan dan membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mencoba tetap tenang, tetapi di kepalanya muncul begitu saja hal-hal buruk. Mungkin lelaki itu mengetahui beberapa hal tentang hubungan mereka, mungkin ia mencium sesuatu yang tidak beres dengan istrinya, mungkin ada orang melihat ia bersama Tantri; pikirannya terus menerka-nerka apa yang mungkin diketahui oleh suami Tantri.

Lelaki itu merebahkan dirinya di kursi perawatan. Sujarwo memakai masker dan sarung tangan, dan merasakan tekanan yang makin berat ketika lelaki itu tiba-tiba berkata:

“Apakah pernah ada kasus pasien mati karena perawatan gigi, Dok?”

Kepalanya rusuh dan jantungnya berdegup makin kuat. Ia memeriksa mulut Ardian dengan telinga yang terus-menerus mendengar ucapan Tantri: Menurutmu rumah tanggaku dengan dia itu kebaikan bersama?

Ia menguatkan diri. Lelaki bodoh ini ada di tangannya sekarang, seperti burung kecil di tangan kanak-kanak: Ia bisa mencekik mati burung itu, ia bisa melepaskannya terbang.

Ponsel di sakunya bergetar. Pesan dari Tantri: “Aku mencintaimu, Sayangku. Apa pun keputusanmu, aku hanya ingin bersamamu."

Waktu terasa berhenti.

Ia mengusap pelipisnya yang basah oleh keringat dingin ketika Ardian meninggalkan ruangannya. Matanya tertuju pada cincin pernikahan di jari manis Ardian. Ia benci melihat itu. Lelaki itu pasti hanya ingin dilihat orang sebagai suami setia dengan terus memakai cincin itu. Ia tidak yakin si bodoh itu lelaki setia; cincin itu terus di sana hanya karena jari-jarinya menggembung dan cincin itu menjadi kekecilan dan tidak bisa dilepas.

“Aku membencinya karena ia menghalangi kita, Tantri. Tetapi ia tak pernah melepaskan cincin dari jari manisnya. Aku menghormati itu. Kuharap kamu menghormatinya juga.”

Ia merasa begitu pedih saat mengirimkan pesan itu. Kenyataan pahit. Seperti laut dalam yang tak terjamah cahaya, kenyataan pahit menenggelamkannya sekali lagi dalam gelap dan kosong. Ia memerlukan cahaya; ia memerlukan udara.

 

Air sungai mengalir tenang di bawahnya dan burung-burung beterbangan di langit dan angin sore memberinya perasaan tenteram. Dari pagar jembatan, Sujarwo menarik senar kailnya dan seekor ikan kecil menggelepar-gelepar tersangkut pada mata kail. Ikan terakhir. Warna langit sudah menua dan, setelah melepaskan ikan dari mata kail, ia membereskan peralatan memancingnya.

“Dapat banyak, Dokter?”

Ia mengangkat kepalanya dan melihat seorang perempuan dengan kaus putih dan jins biru berdiri di hadapannya. Rambutnya sebahu, dan helai-helai rambut itu seperti melambai kepadanya ketika angin bertiup agak kencang, dan matanya biru. Cantik, seperti Santi.

Sujarwo mengingat-ingat siapa di antara kenalannya yang mengenakan lensa kontak biru.

“Anda—”

“Maulina. Bulan lalu saya ke klinik anda.”

Ia ingat sekarang. Maulina datang ke klinik diantarkan suaminya, lelaki kecil yang terlihat kikuk dan bodoh dan ikat pinggangnya hampir setinggi dada.

“Apa yang membawa anda kemari?”

“Coba Dokter tebak.”

“Tempat ini tenang, bagus untuk melupakan kekeruhan. Jadi, saya pikir… Anda juga sedang ingin melupakan sesuatu?”

“Rumah saya di dekat sini.”

“O, saya salah menebak.”

“Tidak sepenuhnya.”

Maulina pamit. Sujarwo memandangi perempuan itu berjalan menjauh. Ia menarik napas panjang: Bahkan dari belakang pun perempuan itu mirip Santi.[]

 

MENULIS cerita pendek yang bagus tidak pernah mudah. Itu harus diterima sebagai takdir, dalam pengertian yang sama persis dengan orang-orang...


MENULIS cerita pendek yang bagus tidak pernah mudah. Itu harus diterima sebagai takdir, dalam pengertian yang sama persis dengan orang-orang beriman memahami apa yang disebut takdir. Agar takdir penulisan anda menjadi lebih mudah, anda perlu menguasai beberapa keterampilan penting demi mengasah kemampuan bercerita.


1


Pertama-tama, anda perlu memperbaiki cara anda menulis kalimat. Kalimat adalah perangkat utama bagi anda untuk mengekspresikan pemikiran, menyajikan cerita, dan membuat pembaca terpikat.


Anda perlu terampil dalam membuat ekspresi yang jernih, efektif, dan elegan. Kalimat yang jernih dan efektif mengharuskan pemahaman tentang struktur kalimat dan penggunaan kata-kata yang tepat. Elegan bukan berarti kalimat anda berbunga-bunga; anda perlu memahami alur dan ritme dan bagaimana menciptakan kesan tertentu dengan kalimat anda.


Deskripsi anda juga memerlukan kalimat-kalimat yang mampu memikat pembaca. Anda perlu menguasai cara berbahasa deskriptif, menggunakan majas, memberi emosi, menghidupkan suasana, mengkongkretkan konsep-konsep abstrak melalui kalimat-kalimat anda.


2


Imajinasi dan kreativitas adalah dasar bagi setiap cerita pendek yang menarik. Dan sebetulnya tidak hanya dasar bagi cerita pendek, imajinasi dan kreativitas adalah dasar bagi keberhasilan hidup anda juga. Hidup anda tidak akan menarik tanpa imajinasi dan kreativitas.


Salah satu cara yang paling bisa diandalkan untuk merangsang imajinasi adalah "what if". Anda bisa menggunakan pertanyaan "what if" untuk menggali banyak kemungkinan—menjangkau berbagai khayalan—dan mendorong pikiran anda ke wilayah-wilayah yang berbeda dan tidak terduga.


Misalnya anda mengajukan pertanyaan: “Bagaimana jika seorang dosen sejarah menemukan bukti bahwa salah satu tokoh terkenal dalam sejarah sebenarnya adalah penjahat kejam, dan ia harus memutuskan untuk mengubah narasi sejarah dengan temuannya dan menghadapi oposisi dari komunitas akademik atau berdiam diri saja demi keamanannya?”


Teknik ini memungkinkan anda menghasilkan premis yang tidak biasa, menciptakan konflik yang unik, atau mengubah jalan cerita yang sudah dikenal.


3


Setiap cerita adalah cerita tentang karakter. Dalam fiksi, karakter anda bisa manusia (masih hidup atau sudah mati), hewan, iblis, boneka mainan, lampu jalan, tugu, sebongkah batu, dan sebagainya. Apa pun karakter anda, buatlah ia menarik. Ciptakan karakter yang kompleks, meyakinkan, dan pahami betul latar belakangnya. Kembangkan kepribadian, motivasi, dan perubahan karakter sepanjang cerita. Dengan memberikan kedalaman dan kompleksitas pada karakter, pembaca akan lebih peduli dan terhubung dengan cerita yang anda tulis.


4


Dialog adalah kesempatan bagi karakter untuk menyuarakan pemikiran dan perasaan melalui mulutnya sendiri. Dialog yang baik memungkinkan pembaca memahami karakter melalui kata-kata dan percakapan mereka. Dan dialog adalah salah satu bagian tersulit dari penulisan fiksi. Anda harus menuliskan ujaran lisan dalam cara menarik, terdengar natural dan realistis, seperti percakapan sehari-hari, tetapi sebetulnya jauh berbeda dari obrolan sehari-hari.


Percakapan sehari-hari bersifat acak, remeh-temeh, basa-basi, dan sebagian besar isinya tidak penting, sementara dialog dalam fiksi hanya berisi hal-hal penting. Ia menghidupkan karakter, memajukan plot, mengembangkan konflik, mempercepat jalannya cerita, memperkuat suasana, mengungkapkan hubungan antarkarakter, dan sebagainya. Dengan semua fungsi itu, dialog harus tetap terdengar alami. Itu tantangan besar dalam penulisan dialog. Ketika dialog anda terasa kaku atau dipaksakan atau terdengar seperti pidato, pembaca akan kehilangan minat dan mungkin jengkel.


5


Deskripsi yang kuat. Ini alat penting untuk membangun sebuah dunia yang hidup di benak pembaca. Kunci keindahan deskripsi ada pada detail. God is the details, kata orang. Anda perlu menyajikan detail—tentu saja detail yang relevan dengan cerita—untuk memperkaya deskripsi anda. Bagus atau buruk deskripsi anda, menarik atau membosankan penggambaran anda, itu tergantung pada cara anda menyeleksi detail dan menyajikannya.


Panduan umumnya adalah gunakan detail sensorik. Libatkan indra penglihatan, penciuman, pendengaran, pencecapan, dan perabaan dalam deskripsi. Deskripsi yang menarik akan mampu melibatkan pembaca secara emosional, membangun kedekatan antara pembaca dan dunia yang anda ciptakan, dan membuat pembaca seperti menyaksikan di depan mata peristiwa demi peristiwa.


6


Apa konfliknya? Konflik adalah alasan utama bagi cerita. Anda tidak mungkin mengharapkan cerita anda disukai pembaca jika tidak ada konflik di dalamnya. Konflik bisa internal bisa eksternal. Pertimbangkan cara anda memperkenalkan konflik dan meningkatkannya sepanjang cerita berlangsung.


Konflik pada karakter akan memberikan ketegangan pada pembaca. Ketika anda mampu membuat pembaca merasakan ketegangan, anda berhasil membuat mereka punya alasan untuk meneruskan membaca cerita anda.


Karena itulah persyaratan utamanya karakter anda harus menarik. Pembaca tidak akan peduli terhadap apa pun konfliknya jika karakter anda tidak menarik sebagai tokoh cerita.


7


Proses terpenting dari setiap penulisan adalah editing. Dalam editing anda menerapkan semua pengetahuan yang anda miliki untuk menjadikan tulisan anda lebih baik. Ketika menulis, anda bisa menulis secepat-cepatnya; ketika mengedit, anda harus betul-betul cermat mempertimbangkan kalimat-kalimat anda, logika cerita, ketepatan deskripsi, dialog, dan sebagainya.


Editing adalah tindakan untuk menghasilkan versi terbaik cerita anda. Artinya, anda sendiri harus tahu seperti apa versi terbaik cerita anda, dalam semua aspeknya: tema, karakter, setting, dialog, pembukaan, penutupan, konflik, resolusi, dan semua aspek detail lainnya yang mempengaruhi mutu cerita anda.


8


Bagi peminum seperti Hemingway, mungkin menikmati cerita pendek ibarat menenggak wiski dalam tegukan cepat. Tidak ada waktu untuk memikirkan perenungan yang berlebihan. Pembaca harus merasakan sensasinya pada saat itu juga.


Artinya, anda harus mempertimbangkan keringkasan bertutur dan kecepatan gerak cerita. Cerpen biasanya berfokus pada satu momen dalam kehidupan karakter utama. Anda tidak punya keleluasaan melantur atau mengembangkan kompleksitas dengan banyak subplot. Jika anda membaca cerita pendek dan cerpen itu terasa melantur dan berpanjang-panjang, kemungkinan besar cerita pendek itu tidak menarik.


9


Bacalah. Saran ini tetap harus disampaikan, bahkan kalaupun anda kurang senang membaca buku, sebab para penulis yang baik pada umumnya pembaca yang lahap.


Jika anda punya pendapat atau perspektif yang lain, sila menuliskannya di kolom komentar.[]